Masyarakat sudah mengenalnya dengan
baik, seakrab mereka mengenali kuku jarinya atau ingus hidungnya. Pak Sodron.
Singkat namanya tapi tidak sesingkat pengabdiannya pada dunia pendidikan. Sebab
ia adalah salah satu pendiri sekolah ini, yang umurnya sudah mencapai tahun
emas dan kini sudah mencapai kejayaan.
Ketegapan badannya yang dulu kini
sudah memudar dengan lengkungan di
punggungnya yang semakin membentuk lingkaran. Kehalusan kulit dan kekencangan
kulit pada tubuhnya kini berganti dengan lipatan-lipatan keriput dan gelambir
kendornya kulit yang menempel pada tulang penyangga. Keawasan dan ketelitian
matanya ketika memperhatikan murid dalam mengerjakan tugas kini semakin buram
dan kabur seiring dengan abu-abunya warna hitam matanya yang dulu tajam
sorotnya. Rambut indah hitam legam tersisir rapi semakin banyak yang
meninggalkan kulit kepala yang tersisa hanya rambut putih keperakan dan susah
untuk dirapikan dengan sisir karena saking jarangnya.
Namun begitu, semangat mengajar masih
juga terpancar dengan langkah kakinya yang terayun mantap. Jika di rumah hanya
duduk tepekur di kursi teras, berdiripun akan butuh beberapa detik untuk mampu
mengayun langkah di sekolah akan berganti seketika menjadi kegarangan dan sorot
mata yang tajam jika sudah di depan kelas menerangkan satu persatu materi
pelajaran.
Boleh jadi kau akan meragukan dia
apakah mampu mengikuti perkembangan zaman sedangkan umurnya yang uzur sudah
cukup sebagai bukti bahwa orang ini berasal dari zaman purba. Boleh jadi kau
sangsi padanya apakah materi pembelajaran masih sesuai dengan zaman sekarang
sedangkan gaya pakaiannya masih seperti Elvis Presley ketika muda. Namun, mari
kita tengok sejenak ke kelasnya, awas jangan kau terlihat mengawasinya sebab ia
akan marah besar jika sewaktu mengajar ada yang ketahuan mengintipnya, sebab ia
tak mau dirinya sebagai tontonan sebab yang ia sampaikan di kelas adalah
tuntunan.
“Jadi, kau Paiman lebih sering lagi
membuka bukumu dan membuka internet untuk membuktikan bahwa bumi ini bulat
sesuai dengan teori yang selama ini kita yakini,” katanya berapi-api.
“Kenapa Pak harus dicari pembuktian,
bukankah teori bumi ini bulat ini sudah final?” Paiman bertanya antusias.
“Sebab pada tahun 2015 kemarin ramai
dibincangkan teori bumi ini datar, kau bisa membandingkan mana yang bumi ini
bulat atau datar, kalau kau malas ke internet copy saja videonya di laptopku,
aku sudah download beberapa waktu yang lalu, kalian semua juga! tidak hanya
Paiman yang kebetulan aku ajak ngomong!” himbaunya pada seluruh penghuni kelas.
Nah, kini kau terperanjat bukan, ternyata
ia punya laptop, iapun masih mengikuti perkembangan pengetahuan bahkan
murid-muridnya ketinggalan, padahal kau tahu, bukan? anak-anak sekarang akrab
dengan internet apalagi gadget.
Baiklah mari kita menuju ke ruang
kantor guru.
“Untuk apa?” tanyamu.
Sudahlah tidak usah banyak tanya,
ikuti aku sebab aku akan menunjukkan sesuatu yang akan membuatmu terperanjat
dan terlongo.
“Sayangnya aku tidak mudah heran
apalagi terpukau!” kau membantah padahal kamu belum tahu apa yang akan aku
tunjukkan.
Ayo, berjalanmu lelet seperti bekicot,
malulah sama Pak Sodron sebab umurmu kalah jauh dengan dia yang sudah uzur
dimakan tahun. Nah, itu ruangan guru di dalamnya banyak keajaiban yang bisa
kamu temui nantinya.
“Halah, banyak omong kau, segera saja kita
masuk aku jadi penasaran sebetulnya kamu mau menunjukkan apa?” kau mulai gusar
atau lebih tepatnya kamu nggak sabar.
Kau lihat papan data di dinding
belakang ruang ini, lihat pada nama Pak Sodron berapa tanggal lahirnya?
Cepatlah kau cari namanya rupanya kau perlu mendekat untuk memperjelasnya,
dasar kau masih muda tapi penglihatan saja sudah buram, aku yakin itu karena
hobimu yang hanya hobi main game. Telitilah kau pasti tahu apa yang aku
maksudkan.
“Ini atas nama Sodron te te elnya,
Mojokerto 11 Maret 1936, Hah, jadi Pak Sodron sudah berumur 80 tahun? mustahil,
mana mungkin dengan umur segitu dia masih mengajar dan masih kuat mengendarai
sepedanya sendiri?”
Rupanya kau heran dengan hal demikian
padahal ini bukanlah sesuatu yang aneh, sebab dia masih menjaga kebugaran
tubuhnya dengan berolahraga lari-lari kecil di sekitar rumahnya. Iapun bukan
perokok sehingga nafasnya masih segar tidak kembang kempis seperti kau yang
hobi merokok sejak masih sekolah.
Jangan heran juga suaranya masih
jernih, bahkan tak jarang jika kau mau singgah di rumahnya dia masih adzan pada
waktu-waktu tertentu terutama waktu shubuh, suaranya masih merdu bahkan
mendayu-dayu membuat tetangganya yang asyik merajut mimpi akan segera bangun
karena terharu atau malu padanya. Tidak seperti kau yang bersuara cempreng
bikin pekak telinga jika menyanyi.
“Halah, kau mau menunjukkan keajaiban
orang satu ini atau kamu mau meledekku?” Ha ha ha kau bersungut-sungut rupanya.
Jangan tersinggung kawan, ayo kembali edarkan pandanganmu di sekitar ruangan
ini.
“Bagus sekali miniatur pesawat ini, ini
juga miniatur kereta api dan kapal laut, pasti anak-anak yang membuat berbakat
sekali dalam bidang seni ukir, sangat detail dan menyerupai bentuk aslinya.”
Kau keheranan dengan tumbukan matamu
pada sebuah hasil karya seni yang memang terlihat sangat manis dan memanjakan
mata. Tebakanmu benar bahwa yang membuat ini pasti sangat terampil jiwa seninya
pasti sangat terasah. Tapi tahukah kau bahwa yang membuatnya adalah Pak Sodron?
“Hah, mana mungkin dia mampu
membuatnya sedangkan tangannya saja sudah gemetar memegang spidol tadi?”
Jangan salah kawan, ini adalah hasil
karyanya ketika dia masih muda, sekarangpun dia masih mampu membuat meski tidak
sempurna lagi seperti karyanya yang dulu. Lihat beberapa lukisan wayang di
dinding ruang ini, semuanya ini adalah hasil karya dia beberapa waktu yang
lalu.
“Hah, setua ini masih bisa membuat
lukisan wayang sedetail ini, hebat, benar-benar hebat!”
Rupanya kekagumanmu semakin bertambah.
Aku rasa sudah waktunya kau bertemu dia untuk mewawancarainya. Bukankah kau
datang ke sini untuk mengorek lebih jauh riwayat hidupnya, setelah kau tahu
berita di salah satu TV swasta ketika ia mendapat penghargaan sebagai guru
teladan tingkat nasional.
“Tidak, aku tidak perlu publikasi,
sudah cukup musibah bagiku ketika mendapat pernghargaan sebagai guru teladan
kemarin.” Tolak Pak Sodron ketika kau meminta izin wawancara.
“Lho, kenapa penghargaan kemarin Bapak
anggap musibah?” kau bertanya-tanya kebingungan.
“Sebab, apa yang aku lakukan selama
ini bukan untuk mendapatkan penghargaan, bagi aku, bisa menyaksikan kesuksesan
murid saja sudah cukup membuat batin puas.”
“Terus kemarin panitia kok bisa tahu
dan akhirnya meloloskan Bapak menjadi juara guru teladan?” kau masih juga
penasaran.
“Gara-gara Si Gemblung ini yang tanpa
minta izin aku tahu-tahu mengirimkan curriculum vitaeku dan mengirimkan
beberapa contoh hasil karyaku, dan membuat essai tentang aku,” kata Pak Sodron
sambil menunjuk hidungku. Aku jadi salah tingkah dan merasa bersalah. Kau
ikut-ikutan memandangku tapi dengan raut keheranan.
“Bukannya bagus tho, Pak, orang jadi
tahu perjuangan Bapak selama ini, dan jadi inspirasi orang se-Indonesia,”
katamu membela aku. Terima kasih kawan.
“Bagus gundulmu, justru karena
publikasi kemarin, keikhlasanku kini memudar, bisa jadi kini pahala yang
kukumpulkan bertahun-tahun dengan memupuk rasa sabar, pantang menyerah, tanpa
pamrih sudah musnah gara-gara Si Gemblung ini.” Sekali lagi ia menunjuk
hidungku. “Astaghfirullah,.... Astaghfirullah....”
“Kamu tahu, puluhan tahun aku mengabdi
jadi guru, tak sekecilpun terbersit dalam hatiku untuk mencari penghargaan
apalagi hanya sekedar lembar rupiah, tidak! Sebab jadi guru ini panggilan
jiwaku, kepuasan batinku. Jadi kini aku merasa merangkak dari nol lagi, karena
aku harus menata hati ini agar jadi ikhlas kembali. “Astaghfirullah,.... Astaghfirullah....”
Mata Pak Sodron berkaca-kaca. Aku jadi semakin merasa bersalah.
“Kamu tahu, ketika aku mendirikan
sekolah ini kulakukan dengan memeras otak dan juga keringat, banting tulang
agar bisa menjadikan kampungku ini kampung yang cerdas. Puluhan tahun aku tidak
mendapat dukungan, belakangan saja, ketika usahaku menampakkan hasil warga
kampung mau membantuku, sebelum itu mereka hanya mencibir. Puncaknya ketika Si
Gemblung ini diangkat jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Berduyun-duyun
warga kampung menyekolahkan anak-anaknya ingin menjadikan anak-anaknya sesukses
Si Gemblung ini.” Setelah aku merasa bersalah kini aku jadi salah tingkah.
“Terus apa kata Bapak kepada mereka?”
Pak Sodron tanpa sadar sudah diwawancarai kawanku ini.
“Ya, aku katakan bahwa Si Gemblung
Paijo ini bisa menjadi menteri bukan karena sekolah dan atas didikanku, tapi
itu karena usahanya yang tak pernah lelah belajar.”
“Mengapa Bapak mengatakan demikian,
bukankah Paijo ini memang bukti nyata keberhasilan pendidikan Bapak?
“Tidak, Si Gemblung ini memang sudah
pintar dari sononya, jadi aku hanya memolesnya saja.Sudahlah aku mau mengajar,
ingat yang aku katakan tadi nggak usah kamu masukkan majalahmu, apalah
perjuanganku dibandingkan Si Gemblung Paijo ini yang telah mengabdikan dirinya
pada negara 5 tahun kemarin.” Pak Sodron beranjak dari duduknya menyalamiku dan
kau. Sejenak kemudian ia sudah hilang dari pandangan mata.
Binar matamu sudah menandakan
kekagumanmu pada sosok guruku yang satu ini. Senyum puasmu terkembang di
bibirmu. Kau puas karena telah mendapatkan hasil wawancara yang aneh sekaligus
mengesankan. Kau puas sebab kau berhasil menemui sosok guru-guru yang benar
panutan.
“Jo, aku rasa wawancara tadi sudah
cukup menggambarkan bagaimana pantasnya Pak Sodron mendapatkan penghargaan guru
teladan. Oh ya, orang-orang sepertinya sudah tidak mengenalimu ya, padahal kau
pensiun dari menteri baru empat tahun kemarin.”
Kau tak perlu heran karena selama
empat tahun setelah aku jadi menteri memang aku menyembunyikan diri aku takut
dengan kekuasaan, aku takut dengan keikhlasan sebab apalah diriku ini
dibandingkan dengan Pak Sodron yang kau wawancarai tadi.
Ayo kita pulang, ayo kita diskusikan
bagaimana bisa di zaman yang serba matrealis ini masih ada sosok guru seperti
Pak Sodron yang begitu ikhlas dan tak mengenal pamrih.
Belum lama kita berdiskusi sambil
menikmati kopi, dari kejauhan terlihat Paiman tergopoh-gopoh berlari menuju
rumahku.
“Pak Paijo, Bapak Sodron wafat!” kata
Paiman dengan nafas tersengal-sengal.
“Hah, mana mungkin, bukankah tadi
masih sehat dan mengajar kamu dengan semangat?” tanyaku was-was.
“Benar, Pak, tadi setelah istirahat
Pak Sodron masih mengajar kami dan sempat bercerita tentang Bapak, kemudian
setelah bercerita menyuruh kami untuk membuat essai tentang jasa Bapak selama
menjadi menteri.”
“Lalu kemudian apa yang terjadi?” aku
semakin cemas
“Kemudian beliau duduk dan mengucap
asma Allah tiga kali, kemudian Pak Sodron menunduk meletakkan kepalanya di
meja, kami kira tidur.”
“Terus?” aku terus mencecar Paiman.
Sedangkan kau hanya terdiam seakan tak percaya.
“Saya tadi mau mengumpulkan, saya
panggil-panggil tidak bangun akhirnya saya goyang tubuhnya, dia terjatuh,
ternyata beliau sudah tidak bernafas.”
“Jadi? Ya Allah...ampunilah saya yang
membuat Pak Sodron kecewa, ayo kita ke sekolah,” kami segera berlari.
Sesampainya di sekolah terlihat tubuh
kaku Pak Sodron ditidurkan di pembaringan ruang UKS. Senyum masih menghias
bibirnya, kerutan wajahnya tak menampakkan kelelahan yang berarti. Ia masih
bugar kaupun melihatnya dan wajahmu masih menampakkan raut ketidak percayaan
dengan peristiwa wawancara tadi dengan keadaan sekarang bagai langit dan bumi.
Tangis sedu-sedan dari para murid di
luar ruangan terdengar bagai dengungan lebah, seluruh gurupun terisak-isak baik
laki-laki maupun perempuan. Sungguh suatu pemandangan yang memilukan.
Kau
merekam segala kejadian yang ada, menceritakan dengan detail peristiwa demi
peristiwa yang kau temui sebelum, selama, dan sesudah wawancara. Kau muat
pengalamanmu ini jadi 3 artikel di majalahmu yang beroplah besar dan berskala
nasional. Kau jadikan tulisanmu ini sebagai monumen abadi bagi guru Sodron yang
memang patut diteladani, dan kau beri judul salah satu artikel tentang Pak
Sodron ini dengan judul yang menghentak kesadaran: “Pengajaran Terakhir”
Dimuat di Majalah Sekolah Al-Musthofa
KAMUS edisi 35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar