Selamat datang!! Silakan Anda mengutip semua artikel yang ada di kami tapi Anda harus menyertakan saya sebagai penulisnya

Kamis, 03 November 2016

PENGAJARAN TERAKHIR

Masyarakat sudah mengenalnya dengan baik, seakrab mereka mengenali kuku jarinya atau ingus hidungnya. Pak Sodron. Singkat namanya tapi tidak sesingkat pengabdiannya pada dunia pendidikan. Sebab ia adalah salah satu pendiri sekolah ini, yang umurnya sudah mencapai tahun emas dan kini sudah mencapai kejayaan.
Ketegapan badannya yang dulu kini sudah memudar dengan  lengkungan di punggungnya yang semakin membentuk lingkaran. Kehalusan kulit dan kekencangan kulit pada tubuhnya kini berganti dengan lipatan-lipatan keriput dan gelambir kendornya kulit yang menempel pada tulang penyangga. Keawasan dan ketelitian matanya ketika memperhatikan murid dalam mengerjakan tugas kini semakin buram dan kabur seiring dengan abu-abunya warna hitam matanya yang dulu tajam sorotnya. Rambut indah hitam legam tersisir rapi semakin banyak yang meninggalkan kulit kepala yang tersisa hanya rambut putih keperakan dan susah untuk dirapikan dengan sisir karena saking jarangnya.
Namun begitu, semangat mengajar masih juga terpancar dengan langkah kakinya yang terayun mantap. Jika di rumah hanya duduk tepekur di kursi teras, berdiripun akan butuh beberapa detik untuk mampu mengayun langkah di sekolah akan berganti seketika menjadi kegarangan dan sorot mata yang tajam jika sudah di depan kelas menerangkan satu persatu materi pelajaran.
Boleh jadi kau akan meragukan dia apakah mampu mengikuti perkembangan zaman sedangkan umurnya yang uzur sudah cukup sebagai bukti bahwa orang ini berasal dari zaman purba. Boleh jadi kau sangsi padanya apakah materi pembelajaran masih sesuai dengan zaman sekarang sedangkan gaya pakaiannya masih seperti Elvis Presley ketika muda. Namun, mari kita tengok sejenak ke kelasnya, awas jangan kau terlihat mengawasinya sebab ia akan marah besar jika sewaktu mengajar ada yang ketahuan mengintipnya, sebab ia tak mau dirinya sebagai tontonan sebab yang ia sampaikan di kelas adalah tuntunan.
“Jadi, kau Paiman lebih sering lagi membuka bukumu dan membuka internet untuk membuktikan bahwa bumi ini bulat sesuai dengan teori yang selama ini kita yakini,” katanya berapi-api.
“Kenapa Pak harus dicari pembuktian, bukankah teori bumi ini bulat ini sudah final?” Paiman bertanya antusias.
“Sebab pada tahun 2015 kemarin ramai dibincangkan teori bumi ini datar, kau bisa membandingkan mana yang bumi ini bulat atau datar, kalau kau malas ke internet copy saja videonya di laptopku, aku sudah download beberapa waktu yang lalu, kalian semua juga! tidak hanya Paiman yang kebetulan aku ajak ngomong!” himbaunya pada seluruh penghuni kelas.
Nah, kini kau terperanjat bukan, ternyata ia punya laptop, iapun masih mengikuti perkembangan pengetahuan bahkan murid-muridnya ketinggalan, padahal kau tahu, bukan? anak-anak sekarang akrab dengan internet apalagi gadget.
Baiklah mari kita menuju ke ruang kantor guru.
“Untuk apa?” tanyamu.
Sudahlah tidak usah banyak tanya, ikuti aku sebab aku akan menunjukkan sesuatu yang akan membuatmu terperanjat dan terlongo.
“Sayangnya aku tidak mudah heran apalagi terpukau!” kau membantah padahal kamu belum tahu apa yang akan aku tunjukkan.
Ayo, berjalanmu lelet seperti bekicot, malulah sama Pak Sodron sebab umurmu kalah jauh dengan dia yang sudah uzur dimakan tahun. Nah, itu ruangan guru di dalamnya banyak keajaiban yang bisa kamu temui nantinya.
“Halah, banyak omong kau, segera saja kita masuk aku jadi penasaran sebetulnya kamu mau menunjukkan apa?” kau mulai gusar atau lebih tepatnya kamu nggak sabar.
Kau lihat papan data di dinding belakang ruang ini, lihat pada nama Pak Sodron berapa tanggal lahirnya? Cepatlah kau cari namanya rupanya kau perlu mendekat untuk memperjelasnya, dasar kau masih muda tapi penglihatan saja sudah buram, aku yakin itu karena hobimu yang hanya hobi main game. Telitilah kau pasti tahu apa yang aku maksudkan.
“Ini atas nama Sodron te te elnya, Mojokerto 11 Maret 1936, Hah, jadi Pak Sodron sudah berumur 80 tahun? mustahil, mana mungkin dengan umur segitu dia masih mengajar dan masih kuat mengendarai sepedanya sendiri?”
Rupanya kau heran dengan hal demikian padahal ini bukanlah sesuatu yang aneh, sebab dia masih menjaga kebugaran tubuhnya dengan berolahraga lari-lari kecil di sekitar rumahnya. Iapun bukan perokok sehingga nafasnya masih segar tidak kembang kempis seperti kau yang hobi merokok sejak masih sekolah.
Jangan heran juga suaranya masih jernih, bahkan tak jarang jika kau mau singgah di rumahnya dia masih adzan pada waktu-waktu tertentu terutama waktu shubuh, suaranya masih merdu bahkan mendayu-dayu membuat tetangganya yang asyik merajut mimpi akan segera bangun karena terharu atau malu padanya. Tidak seperti kau yang bersuara cempreng bikin pekak telinga jika menyanyi.
“Halah, kau mau menunjukkan keajaiban orang satu ini atau kamu mau meledekku?” Ha ha ha kau bersungut-sungut rupanya. Jangan tersinggung kawan, ayo kembali edarkan pandanganmu di sekitar ruangan ini.
“Bagus sekali miniatur pesawat ini, ini juga miniatur kereta api dan kapal laut, pasti anak-anak yang membuat berbakat sekali dalam bidang seni ukir, sangat detail dan menyerupai bentuk aslinya.”
Kau keheranan dengan tumbukan matamu pada sebuah hasil karya seni yang memang terlihat sangat manis dan memanjakan mata. Tebakanmu benar bahwa yang membuat ini pasti sangat terampil jiwa seninya pasti sangat terasah. Tapi tahukah kau bahwa yang membuatnya adalah Pak Sodron?
“Hah, mana mungkin dia mampu membuatnya sedangkan tangannya saja sudah gemetar memegang spidol tadi?”
Jangan salah kawan, ini adalah hasil karyanya ketika dia masih muda, sekarangpun dia masih mampu membuat meski tidak sempurna lagi seperti karyanya yang dulu. Lihat beberapa lukisan wayang di dinding ruang ini, semuanya ini adalah hasil karya dia beberapa waktu yang lalu.
“Hah, setua ini masih bisa membuat lukisan wayang sedetail ini, hebat, benar-benar hebat!”
Rupanya kekagumanmu semakin bertambah. Aku rasa sudah waktunya kau bertemu dia untuk mewawancarainya. Bukankah kau datang ke sini untuk mengorek lebih jauh riwayat hidupnya, setelah kau tahu berita di salah satu TV swasta ketika ia mendapat penghargaan sebagai guru teladan tingkat nasional.
“Tidak, aku tidak perlu publikasi, sudah cukup musibah bagiku ketika mendapat pernghargaan sebagai guru teladan kemarin.” Tolak Pak Sodron ketika kau meminta izin wawancara.
“Lho, kenapa penghargaan kemarin Bapak anggap musibah?” kau bertanya-tanya kebingungan.
“Sebab, apa yang aku lakukan selama ini bukan untuk mendapatkan penghargaan, bagi aku, bisa menyaksikan kesuksesan murid saja sudah cukup membuat batin puas.”
“Terus kemarin panitia kok bisa tahu dan akhirnya meloloskan Bapak menjadi juara guru teladan?” kau masih juga penasaran.
“Gara-gara Si Gemblung ini yang tanpa minta izin aku tahu-tahu mengirimkan curriculum vitaeku dan mengirimkan beberapa contoh hasil karyaku, dan membuat essai tentang aku,” kata Pak Sodron sambil menunjuk hidungku. Aku jadi salah tingkah dan merasa bersalah. Kau ikut-ikutan memandangku tapi dengan raut keheranan.
“Bukannya bagus tho, Pak, orang jadi tahu perjuangan Bapak selama ini, dan jadi inspirasi orang se-Indonesia,” katamu membela aku. Terima kasih kawan.
“Bagus gundulmu, justru karena publikasi kemarin, keikhlasanku kini memudar, bisa jadi kini pahala yang kukumpulkan bertahun-tahun dengan memupuk rasa sabar, pantang menyerah, tanpa pamrih sudah musnah gara-gara Si Gemblung ini.” Sekali lagi ia menunjuk hidungku. “Astaghfirullah,.... Astaghfirullah....”
“Kamu tahu, puluhan tahun aku mengabdi jadi guru, tak sekecilpun terbersit dalam hatiku untuk mencari penghargaan apalagi hanya sekedar lembar rupiah, tidak! Sebab jadi guru ini panggilan jiwaku, kepuasan batinku. Jadi kini aku merasa merangkak dari nol lagi, karena aku harus menata hati ini agar jadi ikhlas kembali. “Astaghfirullah,.... Astaghfirullah....” Mata Pak Sodron berkaca-kaca. Aku jadi semakin merasa bersalah.
“Kamu tahu, ketika aku mendirikan sekolah ini kulakukan dengan memeras otak dan juga keringat, banting tulang agar bisa menjadikan kampungku ini kampung yang cerdas. Puluhan tahun aku tidak mendapat dukungan, belakangan saja, ketika usahaku menampakkan hasil warga kampung mau membantuku, sebelum itu mereka hanya mencibir. Puncaknya ketika Si Gemblung ini diangkat jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Berduyun-duyun warga kampung menyekolahkan anak-anaknya ingin menjadikan anak-anaknya sesukses Si Gemblung ini.” Setelah aku merasa bersalah kini aku jadi salah tingkah.
“Terus apa kata Bapak kepada mereka?” Pak Sodron tanpa sadar sudah diwawancarai kawanku ini.
“Ya, aku katakan bahwa Si Gemblung Paijo ini bisa menjadi menteri bukan karena sekolah dan atas didikanku, tapi itu karena usahanya yang tak pernah lelah belajar.”
“Mengapa Bapak mengatakan demikian, bukankah Paijo ini memang bukti nyata keberhasilan pendidikan Bapak?
“Tidak, Si Gemblung ini memang sudah pintar dari sononya, jadi aku hanya memolesnya saja.Sudahlah aku mau mengajar, ingat yang aku katakan tadi nggak usah kamu masukkan majalahmu, apalah perjuanganku dibandingkan Si Gemblung Paijo ini yang telah mengabdikan dirinya pada negara 5 tahun kemarin.” Pak Sodron beranjak dari duduknya menyalamiku dan kau. Sejenak kemudian ia sudah hilang dari pandangan mata.
Binar matamu sudah menandakan kekagumanmu pada sosok guruku yang satu ini. Senyum puasmu terkembang di bibirmu. Kau puas karena telah mendapatkan hasil wawancara yang aneh sekaligus mengesankan. Kau puas sebab kau berhasil menemui sosok guru-guru yang benar panutan.
“Jo, aku rasa wawancara tadi sudah cukup menggambarkan bagaimana pantasnya Pak Sodron mendapatkan penghargaan guru teladan. Oh ya, orang-orang sepertinya sudah tidak mengenalimu ya, padahal kau pensiun dari menteri baru empat tahun kemarin.”
Kau tak perlu heran karena selama empat tahun setelah aku jadi menteri memang aku menyembunyikan diri aku takut dengan kekuasaan, aku takut dengan keikhlasan sebab apalah diriku ini dibandingkan dengan Pak Sodron yang kau wawancarai tadi.
Ayo kita pulang, ayo kita diskusikan bagaimana bisa di zaman yang serba matrealis ini masih ada sosok guru seperti Pak Sodron yang begitu ikhlas dan tak mengenal pamrih.
Belum lama kita berdiskusi sambil menikmati kopi, dari kejauhan terlihat Paiman tergopoh-gopoh berlari menuju rumahku.
“Pak Paijo, Bapak Sodron wafat!” kata Paiman dengan nafas tersengal-sengal.
“Hah, mana mungkin, bukankah tadi masih sehat dan mengajar kamu dengan semangat?” tanyaku was-was.
“Benar, Pak, tadi setelah istirahat Pak Sodron masih mengajar kami dan sempat bercerita tentang Bapak, kemudian setelah bercerita menyuruh kami untuk membuat essai tentang jasa Bapak selama menjadi menteri.”
“Lalu kemudian apa yang terjadi?” aku semakin cemas
“Kemudian beliau duduk dan mengucap asma Allah tiga kali, kemudian Pak Sodron menunduk meletakkan kepalanya di meja, kami kira tidur.”
“Terus?” aku terus mencecar Paiman. Sedangkan kau hanya terdiam seakan tak percaya.
“Saya tadi mau mengumpulkan, saya panggil-panggil tidak bangun akhirnya saya goyang tubuhnya, dia terjatuh, ternyata beliau sudah tidak bernafas.”
“Jadi? Ya Allah...ampunilah saya yang membuat Pak Sodron kecewa, ayo kita ke sekolah,” kami segera berlari.
Sesampainya di sekolah terlihat tubuh kaku Pak Sodron ditidurkan di pembaringan ruang UKS. Senyum masih menghias bibirnya, kerutan wajahnya tak menampakkan kelelahan yang berarti. Ia masih bugar kaupun melihatnya dan wajahmu masih menampakkan raut ketidak percayaan dengan peristiwa wawancara tadi dengan keadaan sekarang bagai langit dan bumi.
Tangis sedu-sedan dari para murid di luar ruangan terdengar bagai dengungan lebah, seluruh gurupun terisak-isak baik laki-laki maupun perempuan. Sungguh suatu pemandangan yang memilukan.
Kau merekam segala kejadian yang ada, menceritakan dengan detail peristiwa demi peristiwa yang kau temui sebelum, selama, dan sesudah wawancara. Kau muat pengalamanmu ini jadi 3 artikel di majalahmu yang beroplah besar dan berskala nasional. Kau jadikan tulisanmu ini sebagai monumen abadi bagi guru Sodron yang memang patut diteladani, dan kau beri judul salah satu artikel tentang Pak Sodron ini dengan judul yang menghentak kesadaran: “Pengajaran Terakhir”

Dimuat di Majalah Sekolah Al-Musthofa
KAMUS edisi 35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar