Matahari masih
malu menampakkan tubuhnya ketika aku berangkat mengendarai sepeda skuterku
menuju madrasah tempatku mengamalkan ilmu. Kabut menggantung menambah suasana
pagi sejuk semakin kusam. Sesekali aku usap kaca helm yang ikut buram terkena
kabut pagi yang belum hilang pekatnya itu.
Tas kerjaku
menggantung bergoyang lemah diterpa angin pagi. Dingin menusuk masih terasa
meski jaket tebal hadiah dari salah satu muridku telah kupakai. Sesekali
genangan air kusibak dengan roda sepeda. Percikannya mau tak mau menimpa
skuterku yang tetap setia mengantarku kemanapun aku perlukan. Rupanya hujan
tadi malam cukup membuat jalanan berlubang di sepanjang jalan yang kulewati
menjadi danau dadakan.
Tak lebih dari
setengah jam aku telah sampai. Madrasah masih sepi. Entah aku yang terlalu pagi
berangkatnya atau memang penghuni madrasah yang lain masih mempersiapkan diri
untuk berangkat. Hanya ada tukang kebun yang sedang membersihkan selokan. Ada beberapa anak yang berlarian menikmati udara
pagi dengan tertawa renyah mereka. Aku langsung menuju kantor guru. Terlihat
tumpukan kertas di atas meja. Hem, rupanya ada ulangan kemarin yang belum
kunilai. Untung saja aku tadi tidak sarapan di rumah sehingga aku punya waktu
untuk memeriksa ulangan itu.
“Assalamu’alaikum,
Bu. Wah, ibu Sodron ini ya, tidak pernah sekalipun telat datangnya, bahkan
selalu mendahului saya!” sapa Pak Kepala Madrasah.
“Wa’alaikumsalam,
Bapak ini pagi-pagi sudah memuji, bukankah memang seharusnya begitu, Pak.”
“Itulah yang
saya suka dari ibu ini, tak pernah menyombongkan diri, mari Bu saya ke kantor
dulu.”
Aku hanya
mengangguk. Kepala madrasahku ini memang bisa dibilang kepala madrasah teladan.
Beliau selalu mendahului guru-guru lainnya. Makanya aku malu kalau sampai keduluan
beliau.
Tepat pukul
06.45 bel masuk berbunyi, saatnya aku menjalani rutinitas yang sama sekali
tidak membosankan. Masuk ke kelas memandang wajah-wajah polos muridku adalah
rutinitas yang paling menyenangkan.
Celotehan tanpa beban, dan pertengkaran tanpa dendam. Inilah yang
membuatku selalu semangat untuk mengajar.
Satu per satu nama
mereka kupanggil, hanya satu yang tidak masuk, Paijo. Hem, anak bengal itu tak
akan mengganggu suasana kelas lagi. Baguslah, ini akan memperingan tugasku hari
ini. Kelas IV yang berisi anak-anak yang masih ingusan akan menjadi tertib jika
tanpa dia. Pelajaran kumulai setelah semua anak berdoa. Ditengah asyiknya aku
menerangkan pelajaran tentang pantun, tiba-tiba HPku berbunyi. Nada sms. Aku
buka ternyata sms dari ibunya Paijo:
“Bu, tolng
SPP yg sy titpkn ank sy tdi jnengan ambil, biasny ank itu lpa mmbrkany. Mksh!”
SPP
dititipkan?
“Maaf bu,
Paijo kan tdk msk?”
segera kujawab sms itu.
“Lho, tdi Paijo dintar masnya,
Bu masa tdk mask.”
“Benr bu
Paijo mmang tdk ada dkls sy hri ini.”
Segera saja
ibu Paijo menelpon saya. Mugkin dia merasa terlalu lama kalau sms saja. Aku
menjelaskan memang Paijo tidak masuk. Tapi dia juga bersikeras bahwa Paijo
masuk. Kusuruh telpon ditutup. Aku
tanyakan kepada teman-temannya. Tidak ada yang tahu keberadaan Paijo. Kutanya
ke kelas lain, jawabannya pun sama. Kekhawatiran mulai merasuki hatiku.
Dalam keadaan
seperti ini, kebengalannya sudah terlupakan. Gangguannya yang sering membuat
tangis temannya yang wanita menguap entah kemana. Tingkahnya yang kadang
menggulingkan bangku tanpa sebab menjadi terlupakan. Aku jadi teringat kemarin pagi
dia menyapu kelasnya. Hal yang tak pernah dilakukannya. PR yang tak pernah
disentuhnya kemarin juga diselesaikannya meski tidak benar semua. Jangan-jangan
ini merupakan pertanda... Ah segera kubuang jauh-jauh perasaan itu.
Aku juga ingat
kemarin seharian penuh tidak ada temannya yang menangis. Tak henti-hentinya
juga dia merebut penghapus dari temannya yang mau membersihkan papan tulis. Dan
secara sukarela ia yang membersihkan papan itu. Padahal biasanya jangankan
merebut disuruh puluhan kalipun tak akan ia beranjak dari bangkunya. Pertanda
ini semakin jelas, meski kemarin aku tak menyadarinya tapi sekarang menjadi
jelas kenapa Paijo berubah tiba-tiba.
“Bagaimana,
bu, apa Paijo sudah ada di situ?” Ibu Paijo menelpon kembali.
“Belum, bu
kami masih berusaha.”
Segera saja
aku menyuruh teman-temannya untuk membantu mencari Paijo. Mereka menyebar ke
seluruh penjuru madrasah. Sayang, sepuluh menit kemudian hanya gelengan mereka
yang kudapat. Kekhawatiranku berubah menjadi cemas. Terlintas bayangan buruk.
Apa yang terjadi dengan Paijo. Apa dia sudah telalu bosan mendengar ocehanku.
Apa dia sudah putus asa untuk berubah menjadi anak yang baik, sebab tak pernah
mendapat renspon positif dariku.
Ah, kalau
mengingat sehari kemarin. Aku jadi merasa bersalah. Apalagi kemarin waktu
merasakan salamannya dipegang erat tanganku sambil berkata, “Tangan ibu wangi
dan halus ya.” Pujian yang tak pernah keluar dari mulutnya. Sebab makian lebih
sering keluar dari bibirnya daripada pujian. Tapi tak urung aku tersipu malu
juga mendengar pujiannya.
Aku menuju
lapangan, siapa tahu ia sembunyi disitu.
Semua semak belukar aku sibak tak juga kutemukan sosoknya. Aku
kebelakang madrasah menembus barongan bambu bersama murid-murid lainnya.
Teriakan panggilan murid-murid tak jua memunculkan bayangan Paijo.
Ada apa ini,
setelah sedikit perubahan ditunjukkannya, mengapa begitu cepat ia berlalu.
Jangan-jangan... Ah, lagi-lagi kutepis perasaan itu. Aku ingin wajah lugu Paijo
kemarin yang secara sukarela menawarkan diri untuk mengambilkan kapur ke kantor
ketika kapur tulis habis tetap terjadi besok pagi. Aku tak mau anak yang
beranjak berubah baik kemudian meninggalkan kenangan kebaikan yang hanya sebentar.
Waktu sudah
menunjukkan pukul 10 tepat ketika orangtua Paijo datang ke madrasah. Wajah
khawatir dan cemas jelas sekali tergambar. Ketika aku ditanya keberadaan Paijo,
tentu hanya gelengan lemah yang kutunjukkan.
Mata Ibu Paijo
berair, “Padahal tadi waktu berangkat saya senang sekali, Bu Sodron, karena ia
merapikan tempat tidurnya dahulu, dan berjanji kepada saya untuk melakukan itu
setiap pagi. Dia juga yang selalu rewel waktu sarapan dengan lahapnya tadi pagi
menghabiskan nasinya.”
Aku jadi
terharu mendengar semuanya. Rupanya ocehanku selama ini didengarnya juga. Kami
saling berpelukan. Tak urung aku ikut menangis juga.
“Saya kira
kalau kita hanya menangis, tak akan mengembalikan Paijo Bu, bagaimana kalau
sekarang kita lanjutkan pencariannya?” saranku. Ibu Paijo hanya mengangguk.
Segera aku
meninggalkan madrasah, sementara sinar matahari semakin garang, semua siswa
terpaksa dipulangkan. Kepala madrasah menyuruh siswa-siswi juga ikut membantu
mencari Paijo. Aku berkeliling ke sana kemari.
Tepat pukul satu aku menghampiri sekelompok anak bermain sepak bola di
lapangan pinggiran desa, aku hampiri mereka. Sayang tak ada Paijo disana. Terpaksa
aku minta air minum mereka sekedar menghilangkan haus. Aku baru ingat aku belum
sarapan. Namun dengan kejadian ini nafsu makanku telah menguap.
Aku lanjutkan
pencarian ke areal persawahan, tempat favorit Paijo kalau kalau dia tidak mau
kembali ke kelas setelah istirahat. Semua pematang aku telusuri, padi yang
kelihatan rimbun aku susuri, aku masuki tanaman jagung. Seinci demi seinci tak
kulewatkan, hasilnya tak jua kutemukan Paijo di sana.
Kulanjutkan ke
sungai tempat main Paijo sehabis main sepakbola di madrasah. Mungkin saja dia
tergelincir dan terseret arus! Aku susuri tanggul sungai sampai jauh tak juga
kutemukan. Bajuku sudah tak kelihatan bagusnya, terkena dedaunan serta berlepotan
tanah becek. Sedangkan kakiku sudah tidak kelihatan bentuknya sebab tertutupi
lumpur di sana-sini. Penat mulai terasa, aku duduk istirahat dipinggir sungai,
mataku mulai berkabut. Atau lebih tepatnya sudah berair.
Akhirnya
sambil menangis aku kembali ke madrasah setelah aku rasa tak akan menemukannya.
Apalagi mendung gelap sudah bergelayut mau menumpahkan isinya. Entah bagaimana
aku bertanggung jawab atas peristiwa ini. Sebab aku takut jangan-jangan Paijo
pergi karena perkataanku yang terlalu kasar.
Belum sampai saya
di madrasah, air langit mengguyur tak terkendali, petir menyambar-nyambar,
setengah berlari aku menuju madrasah. Orangtua Paijo masih di sana. Isak tangis
mereka semakin membuatku ketakutan atas dosaku terhadap Paijo. Sedangkan
kawan-kawan Paijo yang masih di madrasah juga tak ada yang berani bicara.
Benar-benar suasana mencekam menggelayuti masing-masing dari kami.
Setengah jam
hujan berlangsung, putus asa menyelimuti kami. Hanya pasrah dan do’a kami
lantunkan semoga kepergian Paijo bukan untuk selamanya.
Namun, ketika
gelap semakin terasa dan ketika hujan mulai reda, kami akan bersiap-siap pulang
dari kejauhan nampak sesosok lelaki kecil yang kami cari sejak pagi tadi. Setiap
langkahnya seakan mengunci tiap kaki kami yang ada di teras madrasah. Tak ada
satupun dari kami yang mampu bergerak dan berkata, dia mendekati saya dengan
dua tangan di belakang punggungnya mendekatiku.
Baju
seragamnya sudah tak nampak putih lagi, wajahnya terlihat jelas keletihan
menggelayut, namun sorot matanya terlihat kebahagiaan yang sukar
dilukiskan.
“Bu Sodron,
uang sakuku tak cukup untuk membeli seikat bunga untukmu. Aku juga tak berani
memecah celenganku. Sehingga aku tadi ke ladang untuk mencari bunga yang hanya
bisa mekar jika ada petir. Maaf bila jam segini aku baru bisa menemukannya”
Diulurkan
tangannya dari balik punggung. Nampaklah bunga petir yang berwarna-warni, bunga
yang kukagumi sewaktu kecil di desa dulu. Hampir lima belas tahun aku tidak
melihatnya.
“Selamat Hari
Guru ya, Bu. Hanya ini yang Paijo berikan semoga ibu mau menerimanya dan besok ibu
tak marah lagi.” Masya Allah aku baru ingat kalau sekarang tanggal 25 November,
ya sekarang Hari Guru.
Aku tak mampu
berkata-kata lagi, hanya pelukan yang bisa aku berikan, balasan pelukannya
menghilangkan seluruh penatku setelah seharian mencarinya. Sesenggukan Ibu
Paijo ikut memeluknya. Paijo ternyata bisa menangis juga. Tepuk tangan
kawan-kawan Paijo menambah keharuan lebih terasa.
***
Untuk para guru, semoga lebih sabar
menghadapi murid
Untuk para murid semoga semakin bisa menghargai jasa guru.
Dimuat Radar Mojokerto, 3 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar