Selamat datang!! Silakan Anda mengutip semua artikel yang ada di kami tapi Anda harus menyertakan saya sebagai penulisnya

Kamis, 24 November 2016

Bunga Petir

Matahari masih malu menampakkan tubuhnya ketika aku berangkat mengendarai sepeda skuterku menuju madrasah tempatku mengamalkan ilmu. Kabut menggantung menambah suasana pagi sejuk semakin kusam. Sesekali aku usap kaca helm yang ikut buram terkena kabut pagi yang belum hilang pekatnya itu. 
Tas kerjaku menggantung bergoyang lemah diterpa angin pagi. Dingin menusuk masih terasa meski jaket tebal hadiah dari salah satu muridku telah kupakai. Sesekali genangan air kusibak dengan roda sepeda. Percikannya mau tak mau menimpa skuterku yang tetap setia mengantarku kemanapun aku perlukan. Rupanya hujan tadi malam cukup membuat jalanan berlubang di sepanjang jalan yang kulewati menjadi danau dadakan.
Tak lebih dari setengah jam aku telah sampai. Madrasah masih sepi. Entah aku yang terlalu pagi berangkatnya atau memang penghuni madrasah yang lain masih mempersiapkan diri untuk berangkat. Hanya ada tukang kebun yang sedang membersihkan selokan.  Ada beberapa anak yang berlarian menikmati udara pagi dengan tertawa renyah mereka. Aku langsung menuju kantor guru. Terlihat tumpukan kertas di atas meja. Hem, rupanya ada ulangan kemarin yang belum kunilai. Untung saja aku tadi tidak sarapan di rumah sehingga aku punya waktu untuk memeriksa ulangan itu.
“Assalamu’alaikum, Bu. Wah, ibu Sodron ini ya, tidak pernah sekalipun telat datangnya, bahkan selalu mendahului saya!” sapa Pak Kepala Madrasah.
“Wa’alaikumsalam, Bapak ini pagi-pagi sudah memuji, bukankah memang seharusnya begitu, Pak.”
“Itulah yang saya suka dari ibu ini, tak pernah menyombongkan diri, mari Bu saya ke kantor dulu.”
Aku hanya mengangguk. Kepala madrasahku ini memang bisa dibilang kepala madrasah teladan. Beliau selalu mendahului guru-guru lainnya. Makanya aku malu kalau sampai keduluan beliau. 
Tepat pukul 06.45 bel masuk berbunyi, saatnya aku menjalani rutinitas yang sama sekali tidak membosankan. Masuk ke kelas memandang wajah-wajah polos muridku adalah rutinitas yang paling menyenangkan.  Celotehan tanpa beban, dan pertengkaran tanpa dendam. Inilah yang membuatku selalu semangat untuk mengajar.
Satu per satu nama mereka kupanggil, hanya satu yang tidak masuk, Paijo. Hem, anak bengal itu tak akan mengganggu suasana kelas lagi. Baguslah, ini akan memperingan tugasku hari ini. Kelas IV yang berisi anak-anak yang masih ingusan akan menjadi tertib jika tanpa dia. Pelajaran kumulai setelah semua anak berdoa. Ditengah asyiknya aku menerangkan pelajaran tentang pantun, tiba-tiba HPku berbunyi. Nada sms. Aku buka ternyata sms dari ibunya Paijo:
“Bu, tolng SPP yg sy titpkn ank sy tdi jnengan ambil, biasny ank itu lpa mmbrkany. Mksh!”
SPP dititipkan?
“Maaf bu, Paijo kan tdk msk?” segera kujawab sms itu.
“Lho, tdi Paijo dintar masnya, Bu masa tdk mask.”
“Benr bu Paijo mmang tdk ada dkls sy hri ini.”
Segera saja ibu Paijo menelpon saya. Mugkin dia merasa terlalu lama kalau sms saja. Aku menjelaskan memang Paijo tidak masuk. Tapi dia juga bersikeras bahwa Paijo masuk. Kusuruh telpon ditutup.  Aku tanyakan kepada teman-temannya. Tidak ada yang tahu keberadaan Paijo. Kutanya ke kelas lain, jawabannya pun sama. Kekhawatiran mulai merasuki hatiku.
Dalam keadaan seperti ini, kebengalannya sudah terlupakan. Gangguannya yang sering membuat tangis temannya yang wanita menguap entah kemana. Tingkahnya yang kadang menggulingkan bangku tanpa sebab menjadi terlupakan. Aku jadi teringat kemarin pagi dia menyapu kelasnya. Hal yang tak pernah dilakukannya. PR yang tak pernah disentuhnya kemarin juga diselesaikannya meski tidak benar semua. Jangan-jangan ini merupakan pertanda... Ah segera kubuang jauh-jauh perasaan itu.
Aku juga ingat kemarin seharian penuh tidak ada temannya yang menangis. Tak henti-hentinya juga dia merebut penghapus dari temannya yang mau membersihkan papan tulis. Dan secara sukarela ia yang membersihkan papan itu. Padahal biasanya jangankan merebut disuruh puluhan kalipun tak akan ia beranjak dari bangkunya. Pertanda ini semakin jelas, meski kemarin aku tak menyadarinya tapi sekarang menjadi jelas kenapa Paijo berubah tiba-tiba. 
“Bagaimana, bu, apa Paijo sudah ada di situ?” Ibu Paijo menelpon kembali.
“Belum, bu kami masih berusaha.”
Segera saja aku menyuruh teman-temannya untuk membantu mencari Paijo. Mereka menyebar ke seluruh penjuru madrasah. Sayang, sepuluh menit kemudian hanya gelengan mereka yang kudapat. Kekhawatiranku berubah menjadi cemas. Terlintas bayangan buruk. Apa yang terjadi dengan Paijo. Apa dia sudah telalu bosan mendengar ocehanku. Apa dia sudah putus asa untuk berubah menjadi anak yang baik, sebab tak pernah mendapat renspon positif dariku.
Ah, kalau mengingat sehari kemarin. Aku jadi merasa bersalah. Apalagi kemarin waktu merasakan salamannya dipegang erat tanganku sambil berkata, “Tangan ibu wangi dan halus ya.” Pujian yang tak pernah keluar dari mulutnya. Sebab makian lebih sering keluar dari bibirnya daripada pujian. Tapi tak urung aku tersipu malu juga mendengar pujiannya.
Aku menuju lapangan, siapa tahu ia sembunyi disitu.  Semua semak belukar aku sibak tak juga kutemukan sosoknya. Aku kebelakang madrasah menembus barongan bambu bersama murid-murid lainnya. Teriakan panggilan murid-murid tak jua memunculkan bayangan Paijo.
Ada apa ini, setelah sedikit perubahan ditunjukkannya, mengapa begitu cepat ia berlalu. Jangan-jangan... Ah, lagi-lagi kutepis perasaan itu. Aku ingin wajah lugu Paijo kemarin yang secara sukarela menawarkan diri untuk mengambilkan kapur ke kantor ketika kapur tulis habis tetap terjadi besok pagi. Aku tak mau anak yang beranjak berubah baik kemudian meninggalkan kenangan kebaikan yang hanya sebentar.
Waktu sudah menunjukkan pukul 10 tepat ketika orangtua Paijo datang ke madrasah. Wajah khawatir dan cemas jelas sekali tergambar. Ketika aku ditanya keberadaan Paijo, tentu hanya gelengan lemah yang kutunjukkan.
Mata Ibu Paijo berair, “Padahal tadi waktu berangkat saya senang sekali, Bu Sodron, karena ia merapikan tempat tidurnya dahulu, dan berjanji kepada saya untuk melakukan itu setiap pagi. Dia juga yang selalu rewel waktu sarapan dengan lahapnya tadi pagi menghabiskan nasinya.”
Aku jadi terharu mendengar semuanya. Rupanya ocehanku selama ini didengarnya juga. Kami saling berpelukan. Tak urung aku ikut menangis juga.
“Saya kira kalau kita hanya menangis, tak akan mengembalikan Paijo Bu, bagaimana kalau sekarang kita lanjutkan pencariannya?” saranku. Ibu Paijo hanya mengangguk.
Segera aku meninggalkan madrasah, sementara sinar matahari semakin garang, semua siswa terpaksa dipulangkan. Kepala madrasah menyuruh siswa-siswi juga ikut membantu mencari Paijo. Aku berkeliling ke sana kemari.  Tepat pukul satu aku menghampiri sekelompok anak bermain sepak bola di lapangan pinggiran desa, aku hampiri mereka. Sayang tak ada Paijo disana. Terpaksa aku minta air minum mereka sekedar menghilangkan haus. Aku baru ingat aku belum sarapan. Namun dengan kejadian ini nafsu makanku telah menguap.
Aku lanjutkan pencarian ke areal persawahan, tempat favorit Paijo kalau kalau dia tidak mau kembali ke kelas setelah istirahat. Semua pematang aku telusuri, padi yang kelihatan rimbun aku susuri, aku masuki tanaman jagung. Seinci demi seinci tak kulewatkan, hasilnya tak jua kutemukan Paijo di sana.
Kulanjutkan ke sungai tempat main Paijo sehabis main sepakbola di madrasah. Mungkin saja dia tergelincir dan terseret arus! Aku susuri tanggul sungai sampai jauh tak juga kutemukan. Bajuku sudah tak kelihatan bagusnya, terkena dedaunan serta berlepotan tanah becek. Sedangkan kakiku sudah tidak kelihatan bentuknya sebab tertutupi lumpur di sana-sini. Penat mulai terasa, aku duduk istirahat dipinggir sungai, mataku mulai berkabut. Atau lebih tepatnya sudah berair.
Akhirnya sambil menangis aku kembali ke madrasah setelah aku rasa tak akan menemukannya. Apalagi mendung gelap sudah bergelayut mau menumpahkan isinya. Entah bagaimana aku bertanggung jawab atas peristiwa ini. Sebab aku takut jangan-jangan Paijo pergi karena perkataanku yang terlalu kasar.
Belum sampai saya di madrasah, air langit mengguyur tak terkendali, petir menyambar-nyambar, setengah berlari aku menuju madrasah. Orangtua Paijo masih di sana. Isak tangis mereka semakin membuatku ketakutan atas dosaku terhadap Paijo. Sedangkan kawan-kawan Paijo yang masih di madrasah juga tak ada yang berani bicara. Benar-benar suasana mencekam menggelayuti masing-masing dari kami.
Setengah jam hujan berlangsung, putus asa menyelimuti kami. Hanya pasrah dan do’a kami lantunkan semoga kepergian Paijo bukan untuk selamanya.
Namun, ketika gelap semakin terasa dan ketika hujan mulai reda, kami akan bersiap-siap pulang dari kejauhan nampak sesosok lelaki kecil yang kami cari sejak pagi tadi. Setiap langkahnya seakan mengunci tiap kaki kami yang ada di teras madrasah. Tak ada satupun dari kami yang mampu bergerak dan berkata, dia mendekati saya dengan dua tangan di belakang punggungnya mendekatiku.
Baju seragamnya sudah tak nampak putih lagi, wajahnya terlihat jelas keletihan menggelayut, namun sorot matanya terlihat kebahagiaan yang sukar dilukiskan. 
“Bu Sodron, uang sakuku tak cukup untuk membeli seikat bunga untukmu. Aku juga tak berani memecah celenganku. Sehingga aku tadi ke ladang untuk mencari bunga yang hanya bisa mekar jika ada petir. Maaf bila jam segini aku baru bisa menemukannya”
Diulurkan tangannya dari balik punggung. Nampaklah bunga petir yang berwarna-warni, bunga yang kukagumi sewaktu kecil di desa dulu. Hampir lima belas tahun aku tidak melihatnya.
“Selamat Hari Guru ya, Bu. Hanya ini yang Paijo berikan semoga ibu mau menerimanya dan besok ibu tak marah lagi.” Masya Allah aku baru ingat kalau sekarang tanggal 25 November, ya sekarang Hari Guru.
Aku tak mampu berkata-kata lagi, hanya pelukan yang bisa aku berikan, balasan pelukannya menghilangkan seluruh penatku setelah seharian mencarinya. Sesenggukan Ibu Paijo ikut memeluknya. Paijo ternyata bisa menangis juga. Tepuk tangan kawan-kawan Paijo menambah keharuan lebih terasa.
***
Untuk para guru, semoga lebih sabar menghadapi murid
Untuk para murid semoga semakin bisa menghargai jasa guru.

Dimuat Radar Mojokerto, 3 November 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar