Selamat datang!! Silakan Anda mengutip semua artikel yang ada di kami tapi Anda harus menyertakan saya sebagai penulisnya

Rabu, 09 Maret 2016

Ketukan Hati dari Penerus Kita


Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan (Q.S. 19:59)

Ayat di atas adalah gambaran generasi kita sekarang dan di masa yang akan datang. Generasi yang jauh dari Allah SWT. Rentan penyimpangan dan kerusakan serta gemar menuruti nafsu syahwat. Berbagai persoalan bisa dijadikan parameter sehingga menjadi generasi yang demikian. Namun, untuk artikel berikut penulis hanya berfokus pada aspek pendidikan yang merupakan pilar utama pembentuk generasi penerus.
Sebagaimana diketahui dan kini ramai jadi pembicaraan adalah kepanikan lembaga pendidikan  dan pusingnya mereka menghadapi kondisi seperti serkarang ini. Karena banyak sekali masyarakat yang menuding bahwa yang bertanggung jawab atas kerusakan generasi kita hanya pendidik (guru)/lembaga pendidikan yang salah menerapkan kurikulum dan hilangnya aspek keikhlasan dalam mengelola dunia pendidikan.
Pemerintah berupaya begitu keras agar pendidikan berhasil mengeluarkan produk yang unggul dan berakhlak mulia. Kurikulumpun diubah, materi ada yang dihapus dan ada yang ditambah. Trilyunan rupiah dianggarkan demi terwujudnya sebuah harapan generasi idaman bangsa dan agama. Pakar pendidikan berteriak pendidikan berkarakter. Tak ayal kurikulum pendidikan berbasis karakterpun digagas. Namun entah kenapa yang terjadi pada generasi kita, kemerosotan akhlak semakin tajam bahkan sudah di atas ambang batas. Naudzubillah...
Bahkan kalau kita melihat berita di surat kabar, menurut hasil survey KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) didapatkan bahwa 62,7% remaja pernah melakukan zina, 21% diantaranya telah melakukan aborsi. Innalillah...
Dari data di atas kita sebagai orangtua jangan menganggap bahwa kerusakan moral remaja seperti itu dianggap sebagai penghalalan bahkan pembenaran tren zaman. Sebagai orangtua kita harus khawatir dan cepat mengambil langkah antisipatif sebelum lebih jauh merembet dan merusak mentalitas moral dan spiritual putra-putri kita.

Pendidikan Akhlak Suatu Keniscayaan
Manusia tanpa akhlak yang mulia tentu tak ada bedanya dengan binatang. Tak punya etika, tak punya tata aturan sehingga hawa nafsu yang diperturutkan.
Menilik tugas Rasul SAW sebagaimana sabda beliau yang berbunyi: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”  maka beliau adalah prototipe pertama bagi kalangan pendidikan dalam menjalankan tugasnya dalam mentransfer nilai-nilai pengetahuan dan spritual bagi anak didik.
Nyatanya kini di Indonesia khususnya dan dunia umumnya nilai-nilai spiritual dianggap materi yang terpisah dengan pengetahuan keduniaan. Berbanding terbalik dengan sejarah Islam pada masa kejayaannya dulu yang tidak ada upaya sekularisasi antara ilmu agama dan ilmu umum.
Akibatnya tidak usah heran jika yang melakukan tindak korupsi justru mereka-mereka yang berpendidikan tinggi, kecerdasannya di atas rata-rata. Karena pendidikan yang ditempuh selama ini hanya sebagai media transfer pengetahuan, miskin akhlak, nihil etika.
Dari segi inilah kita mesti memberikan respek pada upaya pemerintah dan tokoh-tokoh pendidikan yang concern dengan masa depan generasi bangsa untuk memadukan semua materi dengan pendidikan karakter. Tentu hasil itu tidak serta merta menjadi tampak sekarang. Butuh waktu sekian tahun untuk memetik hasilnya.
Jika sekarang putra-putri kita begitu memprihatinkan dalam menjaga nilai-nilai akhlak yang mulia, tidak usah pesimis yang ditampakkan karena upaya itu masih berjalan. Senyampang upaya itu masih terus berproses alangkah lebih baiknya kita-kita yang lebih dulu memberikan tauladan. Bukankah pembelajaran lewat tauladan lebih efektif dari hanya sekedar kata-kata?

Ketika Orangtua Sangsi dengan Pendidikan Berbasis Agama
Menanamkan akidah dan akhlak pada anak dalam bi’ah (lingkungan) yang sehat dan kondusif adalah satu-satunya langkah yang musti dilakukan untuk mengantisipasi lahirnya generasi buruk sebagaimana yang disampaikan Allah SWT dalam ayat di atas. Sungguh, terbentuknya jiwa dan karakter seseorang sangat ditentukan oleh kondisi bi’ah sekitarnya. Seorang anak yang dididik dalam bi’ah yang sehat akan membentuk pribadi yang positif atau sebaliknya. Bi’ah yang memungkinkan membentuk jiwa yang rabbani, salah satunya adalah pendidikan/sekolah berbasis agama.
Bisa kita bayangkan perbedaannya, ketika anak-anak kita yang sedang semangat-semangatnya mengaji, mendalami ilmu agama Islam atau lagi asyik-asyiknya mengikuti kegiatan spiritual untuk generasi idaman. Tapi disaat yang sama teman-teman sebayanya sedang asyik menghabiskan rupiah orangtuanya untuk paketan game online (Playstation), nongkrong di warnet tanpa pengawasan, berpacaran yang tidak sehat atau yang berbau kemaksiatan. Tentu yang sejuk dipandang mata dan menetramkan hati adalah kejadian yang pertama.
Nyatanya masih banyak diantara kita yang secara tidak sadar telah menjerumuskan putra-putri kita ke jurang kehancuran dengan hanya berkata-kata tanpa pernah memberi tauladan yang berharga. Padahal tidak ada orangtua yang menginginkan anaknya menjadi beban pada saat pertanggungjawaban di akhirat kelak. Semua orangtua pasti menginginkan anaknya menjadi syafaat bagi dirinya.
Sangat disayangkan jika sebagian orangtua ada yang sangsi bahkan trauma jika anaknya disuruh mengaji/mendalami ilmu agama. Mereka beranggapan kalau anaknya sehabis sekolah masih harus belajar agama/ngaji lagi, maka nilai sekolahnya akan jatuh. Mereka berdalih bahwa meskipun mereka mengaji belum tentu berhati dan berakhlak baik.
Tentu, sangatlah tidak arif jika kita mencap bahwa gara-gara belajar ilmu agama anak-anak tidak bisa sukses dalam hal dunianya.
Mesti dipahami oleh setiap muslim khususnya orangtua bahwa tujuan pendidikan yang diusung Al-Qur’an adalah bagaimana membimbing manusia agar mempunyai ilmu, yakni ilmu yang membuat manusia takut pada Allah SWT, sebagaimana yang tertuang pada ayat berikut:
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Q.S. Fathir, 35:28)

Tugas Kita Sebagai Orangtua
Kepada orangtua, marilah kita merenung dan berpikir sejenak. Lihatlah generasi muda yang akan meneruskan estafet kepemimpinan negeri ini, bagaimana jika meninggalkan salat dan mengikuti hawa nafsu itu menjadi sesuatu yang biasa dan dianggap wajar?
Rasulullah SAW. Bersabda: “Bahwa ikatan-ikatan Islam akan terburai satu demi satu. Setiap kali satu ikatan terburai, orang-orang bergantungan pada ikatan selanjutnya. Yang terakhir  kali terburai adalah salat (H.R. Ahmad)
Hadis di atas dengan gamblang menjelaskan bahwa putusnya tali Islam yang terakhir  adalah salat. Selama salat masih ditegakkan oleh umat Islam berarti masih ada tali dalam Islam. Sebalik kalau salat sudah tidak ditegakkan maka putuslah Islam secara keseluruhan karena salat adalah tali yang terakhir.
Maka tak mengherankan kalau Allah SWT. menyebut “adhous sholah” (menyia-nyiakan/meninggalkan sholat) dalam ayat tersebut diucapkan pada urutan yang lebih dulu dibandingkan “attaba’us syahawat” (menuruti syahwat), sekalipun tingkah menuruti syahwat itu sudah merupakan puncak kebejatan moral manusia.
Dengan demikian bisa kita pahami bahwa betapa tingginya kejelekan orang yang meninggalkan salat karena puncak kebejatan moral yaitu menuruti syahwatpun masih berada diurutan setelah meninggalkan salat. Tiada perkataan yang lebih benar daripada perkataan Allah SWT dan RasulNya.
Allah SWT. dan RasulNya sangat mengecam orang yang meninggalkan salat dan menuruti syahwat. Maka dari itu marilah kita jaga diri kita juga putra-putri dari kebiasaan yang jelas-jelas dikecam oleh Allah SWT. dan Rasulnya terebut.
Mudah-mudahan kita serta generasi penerus kita tidak termasuk mereka yang akan binasa akibat pelanggaran yang amat besar yaitu meninggalkan salat dan menuruti syahwat. Maka tidak perlu disanksikan lagi bahwa pendidikan agama kalau kita pahami dan kita dalami akan membawa kita ke jalan yang Insya Allah  diridhai Allah SWT dan menjadikan negeri Indonesia “Baldatun Toyyibatun Warobbun Ghofur”. Insya Allah. Amin Ya Robbal Alamin. Wallahu a’lam bishawwab.

*) Guru dan Pemimpin Redaksi
Majalah Sekolah “KAMUS”
MTs. MA. Al-Musthofa Canggu Jetis Mojokerto
Beralamat di: www.catatansangguru.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar