Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang
menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan
menemui kesesatan (Q.S. 19:59)
Ayat di atas adalah gambaran generasi kita sekarang dan di masa
yang akan datang. Generasi yang jauh dari Allah SWT. Rentan penyimpangan dan
kerusakan serta gemar menuruti nafsu syahwat. Berbagai persoalan bisa dijadikan
parameter sehingga menjadi generasi yang demikian. Namun, untuk artikel berikut
penulis hanya berfokus pada aspek pendidikan yang merupakan pilar utama
pembentuk generasi penerus.
Sebagaimana diketahui dan kini ramai jadi pembicaraan adalah
kepanikan lembaga pendidikan dan pusingnya
mereka menghadapi kondisi seperti serkarang ini. Karena banyak sekali
masyarakat yang menuding bahwa yang bertanggung jawab atas kerusakan generasi
kita hanya pendidik (guru)/lembaga pendidikan yang salah menerapkan kurikulum
dan hilangnya aspek keikhlasan dalam mengelola dunia pendidikan.
Pemerintah berupaya begitu keras agar pendidikan berhasil
mengeluarkan produk yang unggul dan berakhlak mulia. Kurikulumpun diubah, materi
ada yang dihapus dan ada yang ditambah. Trilyunan rupiah dianggarkan demi
terwujudnya sebuah harapan generasi idaman bangsa dan agama. Pakar pendidikan berteriak
pendidikan berkarakter. Tak ayal kurikulum pendidikan berbasis karakterpun
digagas. Namun entah kenapa yang terjadi pada generasi kita, kemerosotan akhlak
semakin tajam bahkan sudah di atas ambang batas. Naudzubillah...
Bahkan kalau kita melihat berita di surat kabar, menurut hasil
survey KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) didapatkan bahwa 62,7% remaja
pernah melakukan zina, 21% diantaranya telah melakukan aborsi. Innalillah...
Dari data di atas kita sebagai orangtua jangan menganggap bahwa
kerusakan moral remaja seperti itu dianggap sebagai penghalalan bahkan
pembenaran tren zaman. Sebagai orangtua kita harus khawatir dan cepat mengambil
langkah antisipatif sebelum lebih jauh merembet dan merusak mentalitas moral dan
spiritual putra-putri kita.
Pendidikan Akhlak Suatu Keniscayaan
Manusia tanpa akhlak yang mulia tentu tak ada bedanya dengan
binatang. Tak punya etika, tak punya tata aturan sehingga hawa nafsu yang
diperturutkan.
Menilik tugas Rasul SAW sebagaimana sabda beliau yang berbunyi:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” maka beliau adalah prototipe pertama bagi
kalangan pendidikan dalam menjalankan tugasnya dalam mentransfer nilai-nilai
pengetahuan dan spritual bagi anak didik.
Nyatanya kini di Indonesia khususnya dan dunia umumnya nilai-nilai
spiritual dianggap materi yang terpisah dengan pengetahuan keduniaan.
Berbanding terbalik dengan sejarah Islam pada masa kejayaannya dulu yang tidak
ada upaya sekularisasi antara ilmu agama dan ilmu umum.
Akibatnya tidak usah heran jika yang melakukan tindak korupsi
justru mereka-mereka yang berpendidikan tinggi, kecerdasannya di atas
rata-rata. Karena pendidikan yang ditempuh selama ini hanya sebagai media
transfer pengetahuan, miskin akhlak, nihil etika.
Dari segi inilah kita mesti memberikan respek pada upaya pemerintah
dan tokoh-tokoh pendidikan yang concern dengan masa depan generasi
bangsa untuk memadukan semua materi dengan pendidikan karakter. Tentu hasil itu
tidak serta merta menjadi tampak sekarang. Butuh waktu sekian tahun untuk
memetik hasilnya.
Jika sekarang putra-putri kita begitu memprihatinkan dalam menjaga
nilai-nilai akhlak yang mulia, tidak usah pesimis yang ditampakkan karena upaya
itu masih berjalan. Senyampang upaya itu masih terus berproses alangkah lebih
baiknya kita-kita yang lebih dulu memberikan tauladan. Bukankah pembelajaran
lewat tauladan lebih efektif dari hanya sekedar kata-kata?
Ketika Orangtua Sangsi dengan Pendidikan Berbasis Agama
Menanamkan akidah dan akhlak pada anak dalam bi’ah
(lingkungan) yang sehat dan kondusif adalah satu-satunya langkah yang musti
dilakukan untuk mengantisipasi lahirnya generasi buruk sebagaimana yang
disampaikan Allah SWT dalam ayat di atas. Sungguh, terbentuknya jiwa dan
karakter seseorang sangat ditentukan oleh kondisi bi’ah sekitarnya. Seorang
anak yang dididik dalam bi’ah yang sehat akan membentuk pribadi yang positif
atau sebaliknya. Bi’ah yang memungkinkan membentuk jiwa yang rabbani, salah
satunya adalah pendidikan/sekolah berbasis agama.
Bisa kita bayangkan perbedaannya, ketika anak-anak kita yang sedang
semangat-semangatnya mengaji, mendalami ilmu agama Islam atau lagi
asyik-asyiknya mengikuti kegiatan spiritual untuk generasi idaman. Tapi disaat
yang sama teman-teman sebayanya sedang asyik menghabiskan rupiah orangtuanya
untuk paketan game online (Playstation), nongkrong di warnet tanpa pengawasan,
berpacaran yang tidak sehat atau yang berbau kemaksiatan. Tentu yang sejuk
dipandang mata dan menetramkan hati adalah kejadian yang pertama.
Nyatanya masih banyak diantara kita yang secara tidak sadar telah
menjerumuskan putra-putri kita ke jurang kehancuran dengan hanya berkata-kata
tanpa pernah memberi tauladan yang berharga. Padahal tidak ada orangtua yang menginginkan
anaknya menjadi beban pada saat pertanggungjawaban di akhirat kelak. Semua
orangtua pasti menginginkan anaknya menjadi syafaat bagi dirinya.
Sangat disayangkan jika sebagian orangtua ada yang sangsi bahkan
trauma jika anaknya disuruh mengaji/mendalami ilmu agama. Mereka beranggapan
kalau anaknya sehabis sekolah masih harus belajar agama/ngaji lagi, maka nilai
sekolahnya akan jatuh. Mereka berdalih bahwa meskipun mereka mengaji belum
tentu berhati dan berakhlak baik.
Tentu, sangatlah tidak arif jika kita mencap bahwa gara-gara
belajar ilmu agama anak-anak tidak bisa sukses dalam hal dunianya.
Mesti dipahami oleh setiap muslim khususnya orangtua bahwa tujuan
pendidikan yang diusung Al-Qur’an adalah bagaimana membimbing manusia agar
mempunyai ilmu, yakni ilmu yang membuat manusia takut pada Allah SWT,
sebagaimana yang tertuang pada ayat berikut:
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan
binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Q.S. Fathir, 35:28)
Tugas Kita Sebagai Orangtua
Kepada orangtua, marilah kita merenung dan berpikir sejenak.
Lihatlah generasi muda yang akan meneruskan estafet kepemimpinan negeri ini,
bagaimana jika meninggalkan salat dan mengikuti hawa nafsu itu menjadi sesuatu
yang biasa dan dianggap wajar?
Rasulullah SAW. Bersabda: “Bahwa ikatan-ikatan Islam akan
terburai satu demi satu. Setiap kali satu ikatan terburai, orang-orang
bergantungan pada ikatan selanjutnya. Yang terakhir kali terburai adalah salat (H.R. Ahmad)
Hadis di atas dengan gamblang menjelaskan bahwa putusnya tali Islam
yang terakhir adalah salat. Selama salat
masih ditegakkan oleh umat Islam berarti masih ada tali dalam Islam. Sebalik kalau
salat sudah tidak ditegakkan maka putuslah Islam secara keseluruhan karena
salat adalah tali yang terakhir.
Maka tak mengherankan kalau Allah SWT. menyebut
“adhous sholah” (menyia-nyiakan/meninggalkan sholat) dalam ayat tersebut
diucapkan pada urutan yang lebih dulu dibandingkan “attaba’us syahawat”
(menuruti syahwat), sekalipun tingkah menuruti syahwat itu sudah merupakan
puncak kebejatan moral manusia.
Dengan demikian bisa kita pahami bahwa betapa tingginya kejelekan
orang yang meninggalkan salat karena puncak kebejatan moral yaitu menuruti
syahwatpun masih berada diurutan setelah meninggalkan salat. Tiada perkataan
yang lebih benar daripada perkataan Allah SWT dan RasulNya.
Allah SWT. dan RasulNya sangat mengecam orang yang meninggalkan
salat dan menuruti syahwat. Maka dari itu marilah kita jaga diri kita juga
putra-putri dari kebiasaan yang jelas-jelas dikecam oleh Allah SWT. dan
Rasulnya terebut.
Mudah-mudahan kita serta generasi penerus kita tidak termasuk
mereka yang akan binasa akibat pelanggaran yang amat besar yaitu meninggalkan
salat dan menuruti syahwat. Maka tidak perlu disanksikan lagi bahwa pendidikan
agama kalau kita pahami dan kita dalami akan membawa kita ke jalan yang Insya
Allah diridhai Allah SWT dan menjadikan
negeri Indonesia “Baldatun Toyyibatun Warobbun Ghofur”. Insya Allah.
Amin Ya Robbal Alamin. Wallahu a’lam bishawwab.
*)
Guru dan Pemimpin Redaksi
Majalah
Sekolah “KAMUS”
MTs.
MA. Al-Musthofa Canggu Jetis Mojokerto
Beralamat di: www.catatansangguru.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar