Prolog
Hari Ahad, tanggal 15
Desember 2013 selesai sudah masa karantina saya sebagai salah satu peserta
Pendidikan dan Latihan Pendidikan Guru (PLPG) yang diselenggarakan oleh Lembaga
Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) UIN Sunan Ampel.
Karena banyaknya
janji-janji pemerintahlah sehingga kami semua semangat untuk mengikuti setiap
materi yang disampaikan oleh dosen. Kepenatan yang saya rasakan serta suka-duka
menghadapi tugas yang bejibun dalam tenggat waktu yang singkat tak menyurutkan
semangat saya dan teman-teman untuk menyelesaikannya. Karena di pelupuk mata
kami nampak sebuah lembar sertifikat dan kartu NRG yang menjadi syarat sah
untuk mendapatkan tunjangan profesi. Ya, begitu pragmatisnya pemikiran kami
sebab bagi guru seperti kami yang selalu berkutat utang apalagi yang kami kejar
selain uang.
Kini, setelah beberapa
bulan saya menyelesaikan PLPG tersebut disaat menanti turunnya SK pengesahan,
rupa-rupanya tujuan pragmatis yang sempat mampir dalam benak saya adalah tujuan
yang sebagian besar tersemat pada rekan-rekan seprofesi. Dengan melihat peristiwa-peristiwa
sekitar dari rekan sesama guru yang sudah menerima tunjanganlah sehingga saya
mengambil kesimpulan tersebut. Uraian berikut adalah pembuktian tesis saya.
Tujuan
Pemerintah
Begitu mulianya tujuan pemerintah untuk memajukan kehidupan
bangsa dengan meningkatkan kualitas pendidikan dari segi guru dan
kesejahteraannya. Untuk meningkatkan kualitas guru dengan karakteristik
yang dinilai kompeten maka salah satu caranya adalah dengan sertifikasi.
Peningkatan mutu guru lewat program
sertifikasi ini sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan. Rasionalnya adalah
apabila kompetensi guru bagus yang diikuti dengan kesejahteraan yang bagus,
diharapkan kinerjanya juga bagus. Apabila kinerjanya juga bagus maka KBM-nya
juga bagus. KBM yang bagus diharapkan dapat membuahkan pendidikan yang bermutu.
Maka dikeluarkanlah Undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun
2003 sebagai salah satu upaya untuk mengatur agar pendidikan di Indonesia
semakin maju. Karena tidak mungkin pendidikan maju jika tenaga pendidiknya
tidak maju maka pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 14 tahun 2005
tentang guru dan dosen yang menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional
dalam tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai,
dan mengevaluasi peserta didik.
Pernyataan ‘profesional’ mengindikasikan bahwa seorang guru
harus benar-benar menjalankan tugas sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang.
Karena merupakan tuntutan tentu saja pemerintah tidak tinggal diam dengan
tuntutannya ini maka keluarlah sebagian dari anggaran 20% APBN untuk memberikan
imbal balik berupa tunjangan profesi.
Untuk mencapai ‘profesional’ ada banyak syarat yang memang
harus dipenuhi guru. Tentu saja ini merupakan hal yang lumrah sebagaimana
tujuan, jalan mencapai tujuan juga harus ditempuh. Jika syarat-syarat ini
terpenuhi keluarlah bukti keprofesionalan berupa sertifikat pendidik sebagai
syarat akhir seorang guru untuk mendapatkan tunjangan.
Jalan yang paling mudah menurut saya adalah jalur
portofolio. Sebab dengan jalur ini seorang guru cukup mengumpulkan
pengalaman-pengalaman selama menjadi guru dengan bukti fisiknya. Jika jumlah
nilai minimal 850 dari portofolio terpenuhi, maka guru sudah berhak mendapatkan
sertifikat pendidik dari LPTK penyelenggara sertifikasi guru.
Jalan agak sulit
setelah guru tidak mampu memenuhi penilaian portofolio dia harus mengikuti PLPG
selama 90 jam. Pelatihan yang diadakan selama seminggu ini, setiap peserta
mengikuti jadwal pelatihan yang begitu ketat dengan menyelesaikan tugas dalam tempo
yang singkat. Materi-materi yang disampaikan tentu saja semua hal yang
berkaitan dengan dunia pendidikan yakni pedagogik, profesional, spiritual, dan
sosial lebih-lebih lagi yang berkaitan dengan teknologi. Sebab sebagaimana
sudah maklum teknologi dalam hal ini komputer merupakan hal yang wajib dikuasai
oleh guru.
Jalan menyusahkan dan
lebih rumit serta menghabiskan banyak waktu, biaya, dan tenaga adalah dengan
jalur PPG (Program Profesi Guru). Bagaimana tidak, hanya demi selembar kertas
yang bernama sertifikat seorang guru yang mengikuti PPG harus mengikuti
perkuliahan selama 2 semester (1 tahun) dengan bobot antara 32 s.d. 40 sks. Bandingkan
dengan jalur portofolio yang hanya bermodal kertas berharga, jalur PLPG yang
bermodal tenaga dan ‘sedikit’ pikiran. Tidak berlebihan jika saya mengatakan
bahwa guru hasil dari PPG memang benar-benar guru yang profesional. Mengapa
demikian? Uraian berikut sedikit banyak akan menjawabnya.
Keprihatinan
Sebagaimana yang sudah saya ungkapkan di atas pelaksanaan
program sertifikasi tujuan dasarnya adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Karena dengan meningkatnya kualitas pendidikan, maka akan dapat pula
mendongkrak kualitas pendidikan bangsa Indonesia saat ini.
Kenyataannya program
sertifikasi khususnya jalur portofolio justru memunculkan sosok guru yang Certificate-Oriented. Ternyata
implementasi sertifikasi guru dalam bentuk penilaian portofolio ini kemudian
menimbulkan polemik baru. Banyak para pengamat pendidikan yang menyangsikan
keefektifan pelaksanaan sertifikasi dalam rangka meningkatkan kinerja guru.
Bahkan ada yang berhipotesis bahwa sertifikasi dalam bentuk penilaian
portofolio tak akan berdampak sama sekali terhadap peningkatan kinerja guru,
apalagi dikaitkan dengan peningkatan mutu pendidikan nasional. Hal ini
berkaitan dengan temuan-temuan dilapangan bahwa adanya indikasi kecurangan
dalam melengkapi berkas portofolio oleh para guru peserta sertifikasi.
Tentu Anda masih ingat beberapa tahun yang lalu ketika
portofolio mulai diadakan. Banyak bermunculan acara seminar, diklat, atau yang
sejenisnya diadakan oleh berbagai lembaga yang merasa berkompeten
menyelenggarakannya. Guru kreatif, guru teladan, dosen pendidikan bahkan hingga
profesor laris manis mengisi acara. Padahal kenyataannya acara diselenggarakan
asal-asalan sebab memang bukan ilmu yang menjadi tujuan melainkan sertifikat
atau piagam bukti keikutsertaanlah yang diinginkan.
Cara seperti ini masih lumayan sebab memang acaranya
benar-benar ada lebih memprihatinkan lagi, banyak sekali penawaran (penjualan)
sertifikat dengan harga variatif tanpa pernah mereka mengikutinya. Sertifikat
palsupun bertebaran.
Yang mengikuti PLPG-pun tidak ketinggalan. Memang, diklat
ini benar-benar ada, justru pelaksanaannya yang perlu mendapat sorotan. Saya
yang menjadi peserta PLPG merasakan benar betapa memang program pemerintah
sulit sekali menuai keberhasilannya hanya karena oknum-oknum tidak bertanggung
jawab. Dosen-dosen yang tidak sejalan dengan kehendak pemerintah atas
pemberlakuan kurikulum 2013 berani terang-terangan menentang di hadapan kami
sebagai peserta. Ada dosen yang asal comot karena tidak menguasai materi
gampang saja memberikan tugas pada kami tanpa pernah memberikan pengarahan yang
sebenarnya. Mudah-mudahan hanya saya saja yang mengalami demikian.
Sedangkan para peserta lebih memprihatinkan lagi. Banyak
yang berangkat tanpa orientasi yang jelas. Mengikuti pelatihan dengan
ogah-ogahan, berusaha menghindari tugas yang dibebankan. Hampir sama dengan
para murid, gembira sekali jika dosen hanya bercerita pengalaman hidupnya tanpa
sama sekali memberikan tugas.
Solusi
Sertifikasi dengan
jalur portofolio memang sangat diragukan keampuhannya untuk meningkatkan
kompetensi guru. Maka, pemerintah harus mengadakan tindak lanjut agar program
yang begitu mulia tidak menjadi program yang sia-sia. Sebab di sana-sini masih
banyak guru yag telah lolos sertifikasi tapi sekedar menyalakan laptop saja
tidak bisa. Membuat RPP masih mengandalkan download
internet atau kadang membeli paket jadi yang tinggal mengganti nama saja (sekolah,
kepala sekolah, dan guru bersangkutan).
Meningkatkan suguhan up grading bisa menjadi salah satu
langkahnya. Up Grading yang saya maksud
berupa peningkatan-peningkatan kualitas guru dipelbagai kompetensi. Up
Grading ini dapat berupa Kegiatan-kegiatan training, penataran, workshop,
dan apapun istilah lainnya. Cara ini dapat mengubah rahasia umum para guru,
bahwa yang dapat menikmati suguhan Up Grading tersebut hanyalah
segelintir dari mereka.
Yang telah lulus jalur PLPG-pun
masih banyak kekurangan yang harus dibenahi. Jangan dikira setelah mengikuti
PLPG habis perkara. Masih banyak kekurangan yang harus dibenahi. Sebab yang
jamak terjadi di Indonesia, kegiatan semacam PLPG – bisa seminar, diklat,
kursus – yang diharapkan untuk bisa
memacu kemajuan, menumbuhkan kreatifitas, mengembangkan inovasi mandeg pada
pemenuhan kewajiban atau istilah lainnya hanya sebagai formalitas.
Saya sangat berharap setiap
triwulan, atau persemester atau paling tidak setiap setahun sekali ada semacam
ujian ulang dengan passing grade tiap
tahun ditingkatkan. Sehingga guru sertifikasi tetap terpacu untuk meningkatkan
kemampuannya.
Epilog
Sebelum saya akhiri tulisan ini,
maaf jika ada kesalahan dalam bertutur, bukan bermaksud meng"generalisasi". Saya hanya berharap adanya
sertifikasi tidak serta merta mengurangi keikhlasan para guru untuk menularkan
ilmunya. Sebab, saya yakin masih banyak guru yang memang
benar-benar ikhlas mengajar walau tanpa disertifikasi, dan masih banyak guru
yang walaupun sudah tua namun masih bersemangat untuk belajar memperbaiki
kekurangan diri demi kemajuan sekolahnya.
Sertifikasi bukan segalanya, sebab kemajuan pendidikan di
Indonesia begitu komplek permasalahannya. Hanya, saya mengajak kepada semua rekan
guru untuk selalu instropeksi. Sejauhmana telah melaksanakan tugas
kependidikan. Seberapa banyak kekurangan yang belum tertutupi dan tidak pernah
lelah untuk meningkatkan kemampuan agar bisa mengikuti perkembangan zaman.
Jangan sampai status guru sertifikasi disandang tetapi sering tidak mampu kebutuhan
peserta didik. Semoga, para guru benar-benar menjadi Pahlawan tanpa tanda jasa.
“Barangsiapa mau menjadi guru,
biarkan dia memulai mengajar dirinya
sendiri
sebelum mengajar orang lain,
dan biarkan dia mengajar dengan
teladan,
sebelum mengajar dengan kata-kata....” (Chairil Anwar)
sebelum mengajar dengan kata-kata....” (Chairil Anwar)
*) Pengajar di
MTs. MA. Al-Musthofa Canggu
Jetis Mojokerto
Alumni PLPG
angkatan 33
Mempunyai alamat
di
www.catatansangguru.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar