Selamat datang!! Silakan Anda mengutip semua artikel yang ada di kami tapi Anda harus menyertakan saya sebagai penulisnya

Senin, 02 September 2013

Ketika Anakku Sakit



Hari Ahad, 25 Agustus 2013, untuk kali kedua aku memasukkan anakku ke ruang opname. Bedanya kalau yang kemarin adalah Yana yang masuk Puskesmas karena muntaber, kalau sekarang Yani yang harus aku bawa ke rumah sakit karena sebagian dadanya tersiram air panas dan sebagian besar wajahnya hanya kecipratan saja. Melihat dadanya yang penuh dengan luka kulit berair dan wajahnya yang menghitam serta melihat istriku yang hanya bisa menangis maka aku segera memutuskan untuk opname saja.
Pengalaman yang lalu, ketika Yana opname, menjadikan aku tidak terlalu khawatir dengan keuangan yang dipakai untuk biaya berobat, karena aku dan istriku yakin Allah SWT akan mengganti semuanya pas dengan besarnya biaya yang kubutuhkan. Maka ketika aku memutuskan memasukkan Yani ke rumah sakit, aku tidak terlalu khawatir akan dibayar apa anakku nanti, padahal asal Anda tahu dalam dompet hanya ada uang seratus ribu kurang sedikit, sedangkan istriku hanya membawa dompetnya saja tanpa ada isinya.
Makanya dengan pedenya aku memutuskan untuk opname meskipun perawat membolehkan Yani pulang setelah luka-lukanya diperban. Tapi aku tetap ngotot untuk opname. Maka jadilah hari Ahad pagi itu menjadi hari pertama Yani menjadi pasien Rumah Sakit Islam Hasanah Mojokerto.
Banyak hikmah yang aku bisa petik dengan merawat anak yang sakit apalagi opname. Antara khawatir, takut, sedih berbaur jadi satu. Aku dan istriku tidak pernah mengatakan apa-apa tapi aku yakin istriku merasakan apa yang ada dalam hatiku, begitupun aku, secara sadar menangkap garis kepedihan dan kesedihan yang tergurat di wajah istriku.
Hikmah Pertama: Berharap Pada Makhluk Akan Mengecewakan.
Hari itu juga, Kakak sulungku mengunjungiku bersama Kakak ipar nomor lima. Kalau Kakak sulung memang sudah biasa kami bertemu, tapi kalau Kakak ipar adalah hal yang luar biasa karena dia tidak mungkin bertemu setiap hari denganku sebab rumahnya yang sangat jauh, Papua (Sorong)!
Sejak lama aku tahu Kakakku yang nomor lima ini telah berhasil mengangkat derajat ekonominya, bahkan mungkin paling kaya diantara kami delapan bersaudara, dua tahun lalu dia membeli mobil jenis sruntul (mobil bak kecil), tahun kemarin membeli mobil truk, tahun ini dia membeli mobil Avanza. Apalagi rumahnya katanya sewaktu membangun menghabiskan hampir 800 juta. Angka yang fantastis.
Maka tak heran dalam hati kecilku mengatakan bahwa kakakku inilah jawaban rezeki yang akan diberikan Allah SWT lewat tangannya. Bahkan aku sudah mulai berpikir, paling tidak minimal 1 juta pasti nanti akan terpegang tangan. Hampir setengah jam kami berbincang, dan tibalah mereka berpamitan karena Kakak iparku akan mengantar anaknya kuliah di Yogyakarta.
Satu persatu kami disalami olehnya, hingga sampai padaku, terasa tangannya kosong, dalam hati kecewa juga tapi aku coba untuk membesarkan hatiku, mungkin istriku yang disalami ada amplopnya. Nyatanya hingga berita ini aku tulis tidak sepeserpun uang yang diberikan olehnya.
Hem, memang kalau kita membayangkan sesuatu yang belum terpegang tangan maka siap-siaplah untuk merasakan kekecewaan.
Hikmah Kedua: Rezeki Allah SWT. Datang Tak Terduga
Karena memendam kekecewaan akibat kosongnya tangan ketika aku bersalaman, maka aku sesegera mungkin mengambil kesimpulan bahwa kali ini aku harus segera blusukan mencari hutangan untuk jaga-jaga membayar biaya pengobatan. Maka dalam pikiran sudah ada beberapa orang yang akan aku mintai tolong.
Di samping makhluk sebagai tempat mencari pertolongan tentu aku dan istri mencari pertolongan Sang Kholiq, tak henti-hentinya doa kami panjatkan agar rezeki sesegera mungkin diturunkan.
Satu-persatu kolega, keluarga, dan kawan menjenguk anakku sebagai bentuk rasa solidaritas, dan memang sudah menjadi tradisi entah banyak ataupun sedikit mereka akan meninggalkan amplop di tanganku ataupun istri. Alhamdulillah, Allah SWT. menjawab doa kami bukan lewat saudaraku yang kuharapkan tadi, sebab setelah aku pulang, tidak sepeserpun uang keluar dari dompetku, semuanya berasal dari bantuan berbagai sumber. Sebenarnya hal ini juga terjadi ketika anakku Yana opname di Puskesmas Jetis
Ternyata memang rezeki itu benar-benar datang dari arah yang tidak kita sangka-sangka.
Hikmah Ketiga: Kasih Orang Tua Tak Akan Ada Batasnya
Ketika aku masih kecil dulu, aku tak habis pikir ketika Ibuku selalu saja masih memaafkan kesalahan Mbakku yang notabene tak pernah menyenangkan beliau. Tidak hanya masalah materi, tapi beban moral selalu diberikan secara rutin pada Ibu oleh Mbakku yang tak tahu diri itu.
Maka setumpuk penderitaan yang telah dirasakan Ibu sejak beliau menikah hingga menjadi single parent menjadi tumpukan penderitaan yang begitu tinggi karena dari Mbakku ini, ibu semakin menderita hingga menyebabkan beliau menemui ajalnya.
Pernah suatu ketika aku memberi saran kepada Ibu agar tidak usah menghiraukan Mbakku ini, tapi justru di luar dugaan Ibu malah marah-marah kepadaku. Beliau mengatakan bahwa tidak mungkin ia membedakan kasih sayang pada semua anaknya, sebab bagaimanapun menjengkelkannya, mereka tetap anaknya juga.
Kejadian inilah yang selalu terpatri dalam jiwaku, apalagi setelah kini aku mempunyai anak sendiri. Dan memang benar aku tak bisa membedakan mana yang harus lebih aku sayangi sebab dalam diri ini tak ada perbedaan ketika melihat mereka.
Apalagi sewaktu mereka kena musibah, betapa hati ini selalu teriris-iris ketika melihat mereka menangis, betapa perasaan ini merana ketika mendengar erangannya. Apalagi setelah Yani pulang, dan ia mulai nampak ceria kembali, setelah diikat rambutnya seperti biasa ia menuju cermin almari dan betapa pemandangan itu sangat menyesakkan dada, senyumnya yang ceria tadi lenyap seketika berganti dengan wajah penuh kekecewaan karena di cermin itu bukan wajah cantik sebagaimana yang biasa ia lihat melainkan wajah bopeng kehitaman akibat lukanya tadi.
Maka dengan segala bujuk rayu aku gendong ia, membesarkan hatinya. Tapi aku dan istri yang membesarkan hati justru tak bisa menahan emosi sehingga kami langsung menangis sesenggukan membayangkan bagaimana nasib anakku ini jika nanti besar dengan wajah yang seperti itu. Ketika kami menangis justru Yana dan Yani tampil menghibur kami dengan senyumannya dan membelai wajah serta mengusap air mata kami sambil berkata, “Ibu angis?” Yana bertanya pada istriku dengan suara cedalnya. Sedangkan Yani yang aku tangisi tetap kupangku dan berkata, “Odok angis, Yah! (jangan nangis, Yah)” mendegar demikian tangisku semakin sesenggukan menyesakkan dada.

5 komentar:

  1. assalamualaikum wr. wb
    pak ceritanya sangat mengharukan, sampai-sampai pak haris berhasil membuat saya meneteskan air mata.
    wassalamualaikum wr. wb

    I;IN YUNIANINGSIH (XI-ipa)

    BalasHapus
  2. Assala'alaikum wr.wb

    WOW ceritanya mengharukan banget pak jadi ikut sedih bacanya.
    Wassalamu'alaikum wr.wb

    NOVITA INDRIANI S (XI-IPA)

    BalasHapus
  3. assalamualaikum.wr.wb
    certanya sangat mengharukan,saya jadi ikut sedih.
    wassalamualaikum wr.wb

    any masyruroh(xl ips)

    BalasHapus
  4. assalaikum.wr.wb
    ceritanya sangat mengharunkan dan ceritanya buat motivasi kita semua
    wassalamuaikum.wr.wb

    utari wulandari (XI-ips)

    BalasHapus
  5. assalamualaikum.wr.wb.
    kata-katanya sangat mengharukan dan menyentuh hati saya . certanya membuat saya terharu
    wassalamualaikum.wr.wb.

    nurmala sholihah (XI-ips)

    BalasHapus