Hari Ahad, 25 Agustus 2013, untuk kali kedua aku
memasukkan anakku ke ruang opname. Bedanya kalau yang kemarin adalah Yana yang
masuk Puskesmas karena muntaber, kalau sekarang Yani yang harus aku bawa ke
rumah sakit karena sebagian dadanya tersiram air panas dan sebagian besar
wajahnya hanya kecipratan saja. Melihat dadanya yang penuh dengan luka kulit
berair dan wajahnya yang menghitam serta melihat istriku yang hanya bisa
menangis maka aku segera memutuskan untuk opname saja.
Pengalaman yang lalu, ketika Yana opname,
menjadikan aku tidak terlalu khawatir dengan keuangan yang dipakai untuk biaya
berobat, karena aku dan istriku yakin Allah SWT akan mengganti semuanya pas
dengan besarnya biaya yang kubutuhkan. Maka ketika aku memutuskan memasukkan Yani
ke rumah sakit, aku tidak terlalu khawatir akan dibayar apa anakku nanti,
padahal asal Anda tahu dalam dompet hanya ada uang seratus ribu kurang sedikit,
sedangkan istriku hanya membawa dompetnya saja tanpa ada isinya.
Makanya dengan pedenya aku memutuskan untuk opname
meskipun perawat membolehkan Yani pulang setelah luka-lukanya diperban. Tapi aku
tetap ngotot untuk opname. Maka jadilah hari Ahad pagi itu menjadi hari pertama
Yani menjadi pasien Rumah Sakit Islam Hasanah Mojokerto.
Banyak hikmah yang aku bisa petik dengan merawat
anak yang sakit apalagi opname. Antara khawatir, takut, sedih berbaur jadi
satu. Aku dan istriku tidak pernah mengatakan apa-apa tapi aku yakin istriku
merasakan apa yang ada dalam hatiku, begitupun aku, secara sadar menangkap
garis kepedihan dan kesedihan yang tergurat di wajah istriku.
Hikmah Pertama: Berharap Pada Makhluk Akan
Mengecewakan.
Hari itu juga, Kakak sulungku mengunjungiku bersama Kakak ipar nomor lima. Kalau Kakak sulung memang sudah biasa kami bertemu, tapi
kalau Kakak ipar adalah hal yang luar biasa karena dia tidak mungkin bertemu
setiap hari denganku sebab rumahnya yang sangat jauh, Papua (Sorong)!
Sejak lama aku tahu Kakakku yang nomor lima ini
telah berhasil mengangkat derajat ekonominya, bahkan mungkin paling kaya
diantara kami delapan bersaudara, dua tahun lalu dia membeli mobil jenis sruntul (mobil bak kecil),
tahun kemarin membeli mobil truk, tahun ini dia membeli mobil Avanza. Apalagi rumahnya
katanya sewaktu membangun menghabiskan hampir 800 juta. Angka yang fantastis.
Maka tak heran dalam hati kecilku mengatakan bahwa
kakakku inilah jawaban rezeki yang akan diberikan Allah SWT lewat tangannya. Bahkan
aku sudah mulai berpikir, paling tidak minimal 1 juta pasti nanti akan
terpegang tangan. Hampir setengah jam kami berbincang, dan tibalah mereka
berpamitan karena Kakak iparku akan mengantar anaknya kuliah di Yogyakarta.
Satu persatu kami disalami olehnya, hingga sampai
padaku, terasa tangannya kosong, dalam hati kecewa juga tapi aku coba untuk
membesarkan hatiku, mungkin istriku yang disalami ada amplopnya. Nyatanya
hingga berita ini aku tulis tidak sepeserpun uang yang diberikan olehnya.
Hem, memang kalau kita membayangkan sesuatu yang belum
terpegang tangan maka siap-siaplah untuk merasakan kekecewaan.
Hikmah Kedua: Rezeki Allah SWT. Datang Tak Terduga
Karena memendam kekecewaan akibat kosongnya tangan
ketika aku bersalaman, maka aku sesegera mungkin mengambil kesimpulan bahwa
kali ini aku harus segera blusukan mencari hutangan untuk jaga-jaga membayar
biaya pengobatan. Maka dalam pikiran sudah ada beberapa orang yang akan aku
mintai tolong.
Di samping makhluk sebagai tempat mencari
pertolongan tentu aku dan istri mencari pertolongan Sang Kholiq, tak
henti-hentinya doa kami panjatkan agar rezeki sesegera mungkin diturunkan.
Satu-persatu kolega, keluarga, dan kawan menjenguk
anakku sebagai bentuk rasa solidaritas, dan memang sudah menjadi tradisi entah
banyak ataupun sedikit mereka akan meninggalkan amplop di tanganku ataupun
istri. Alhamdulillah, Allah SWT. menjawab doa kami bukan lewat saudaraku yang
kuharapkan tadi, sebab setelah aku pulang, tidak sepeserpun uang keluar
dari dompetku, semuanya berasal dari bantuan berbagai sumber. Sebenarnya hal
ini juga terjadi ketika anakku Yana opname di Puskesmas Jetis
Ternyata memang rezeki itu benar-benar datang dari
arah yang tidak kita sangka-sangka.
Hikmah Ketiga: Kasih Orang Tua Tak Akan Ada Batasnya
Ketika aku masih kecil dulu, aku tak habis pikir
ketika Ibuku selalu saja masih memaafkan kesalahan Mbakku yang notabene tak
pernah menyenangkan beliau. Tidak hanya masalah materi, tapi beban moral selalu
diberikan secara rutin pada Ibu oleh Mbakku yang tak tahu diri itu.
Maka setumpuk penderitaan yang telah dirasakan Ibu
sejak beliau menikah hingga menjadi single parent menjadi tumpukan penderitaan
yang begitu tinggi karena dari Mbakku ini, ibu semakin menderita hingga
menyebabkan beliau menemui ajalnya.
Pernah suatu ketika aku memberi saran kepada Ibu
agar tidak usah menghiraukan Mbakku ini, tapi justru di luar dugaan Ibu malah
marah-marah kepadaku. Beliau mengatakan bahwa tidak mungkin ia membedakan kasih
sayang pada semua anaknya, sebab bagaimanapun menjengkelkannya, mereka tetap
anaknya juga.
Kejadian inilah yang selalu terpatri dalam jiwaku,
apalagi setelah kini aku mempunyai anak sendiri. Dan memang benar aku tak bisa
membedakan mana yang harus lebih aku sayangi sebab dalam diri ini tak ada
perbedaan ketika melihat mereka.
Apalagi sewaktu mereka kena musibah, betapa hati
ini selalu teriris-iris ketika melihat mereka menangis, betapa perasaan ini
merana ketika mendengar erangannya. Apalagi setelah Yani pulang, dan ia mulai
nampak ceria kembali, setelah diikat rambutnya seperti biasa ia menuju cermin
almari dan betapa pemandangan itu sangat menyesakkan dada, senyumnya yang ceria
tadi lenyap seketika berganti dengan wajah penuh kekecewaan karena di cermin
itu bukan wajah cantik sebagaimana yang biasa ia lihat melainkan wajah bopeng
kehitaman akibat lukanya tadi.
Maka dengan segala bujuk rayu aku
gendong ia, membesarkan hatinya. Tapi aku dan istri yang membesarkan hati
justru tak bisa menahan emosi sehingga kami langsung menangis sesenggukan
membayangkan bagaimana nasib anakku ini jika nanti besar dengan wajah yang
seperti itu. Ketika kami menangis justru Yana dan Yani tampil menghibur kami
dengan senyumannya dan membelai wajah serta mengusap air mata kami sambil
berkata, “Ibu angis?” Yana bertanya pada istriku dengan suara cedalnya.
Sedangkan Yani yang aku tangisi tetap kupangku dan berkata, “Odok angis, Yah! (jangan nangis, Yah)”
mendegar demikian tangisku semakin sesenggukan menyesakkan dada.
assalamualaikum wr. wb
BalasHapuspak ceritanya sangat mengharukan, sampai-sampai pak haris berhasil membuat saya meneteskan air mata.
wassalamualaikum wr. wb
I;IN YUNIANINGSIH (XI-ipa)
Assala'alaikum wr.wb
BalasHapusWOW ceritanya mengharukan banget pak jadi ikut sedih bacanya.
Wassalamu'alaikum wr.wb
NOVITA INDRIANI S (XI-IPA)
assalamualaikum.wr.wb
BalasHapuscertanya sangat mengharukan,saya jadi ikut sedih.
wassalamualaikum wr.wb
any masyruroh(xl ips)
assalaikum.wr.wb
BalasHapusceritanya sangat mengharunkan dan ceritanya buat motivasi kita semua
wassalamuaikum.wr.wb
utari wulandari (XI-ips)
assalamualaikum.wr.wb.
BalasHapuskata-katanya sangat mengharukan dan menyentuh hati saya . certanya membuat saya terharu
wassalamualaikum.wr.wb.
nurmala sholihah (XI-ips)