Selamat datang!! Silakan Anda mengutip semua artikel yang ada di kami tapi Anda harus menyertakan saya sebagai penulisnya

Jumat, 21 Mei 2010

MUTU PENDIDIKAN, TANGGUNG JAWAB SIAPA?

Mutu pendidikan bukanlah tanggung jawab guru saja,
pemerintah dan masyarakat juga wajib bertanggung jawab

Dulu, ketika program bantuan bagi guru muncul pertama kali yang berupa Bantuan Khusus Guru (BKG) seluruh rakyat Indonesia menyambutnya dengan antusias. Karena dengan adanya bantuan ini mereka berharap bahwa seiring dengan bantuan tersebut maka meningkat pula mutu pendidikan rakyat Indonesia.
Kini, hampir 10 tahun bantuan itu diberikan dan telah berganti dengan Tunjangan Fungsional Guru, namun harapan yang telah begitu besar dibebankan kepada guru tak kunjung menampakkan wujudnya. Adakah yang salah dengan BKG atau Tunjangan Fungsional tersebut? Tak mudah kita menjawabnya. Karena begitu kompleksnya permasalahan yang dihadapi guru sebagai personal dengan permasalahan negara yang tak kunjung reda.
Setidaknya menurut penulis ada tiga sudut pandang yang bisa dijadikan acuan untuk mengungkapkan mengapa tujuan pemerintah yang begitu mulia menjadi sesuatu yang malah menjadikan buah simalakama.
1. Faktor Guru
Memang gurulah yang paling bertanggung jawab untuk mewujudkan kualitas pendidikan. Dari merekalah suatu negara bisa menjadi maju atau mengalami kemunduran. Maka tentu saja guru harus senantiasa meningkatkan pengetahuannya karena memang itulah yang diinginkan pemerintah ketika mencairkan dana untuk memberikan sekedar bantuan. Kecil memang, hanya Rp.200.000/bulan tapi bayangkan dengan jumlah guru di Indonesia yang sudah mencapai angka jutaan.
Boleh jadi sebagian besar guru kurang puas dengan bantuan yang kecil itu. Tapi seandainya guru dengan perasaan tulus ikhlas menyampaikan ilmunya maka akan kita jumpai betapa anak didik kita akan mencapai target yang telah kita canangkan. Tapi kenyataannya dengan ketidak puasan tersebut guru menjadi seenaknya menjalankan tugasnya datang memberikan materi pergi meninggalkan pekerjaan rumah. Tak ada lagi pendidikan yang tidak hanya menekankan aspek kognitif saja melainkan aspek afektif dan psikomotor yang notabene merupakan ranah yang saling mendukung demi keberhasilan hidup anak didik kelak.
Benar, guru juga manusia yang butuh mengepulkan asap dapur. Tapi, bagaimanapun menjadi guru sejak awal mestinya mereka telah tahu konsekwensi yang akan dihadapi. Jika ingin mencari kekayaan menjadi guru bukanlah pilihan yang bijak. Tapi yang perlu ditekankan di sini beban moral yang telah disandang guru haruslah tetapi bertengger di pundak. Maka bagaimanapun rendahnya penghasilan yang telah didapat tidak dapat dijadikan alasan untuk melaksanakan tugas semau gue.Tunjangan Fungsional setidaknya bisa menjadi pendorong semangat bahwa pemerintah telah memberikan perhatian lebih pada profesi guru.
Bisa jadi apa yang penulis ungkapkan banyak rekan sejawat yang tidak setuju tapi yang penulis inginkan jangan merasa layak mendapatkan gaji besar, tunjangan tinggi, bantuan selangit jika dalam perilaku mengajar sehari-hari sulit dikatakan sebagai guru yang ideal.

2. Faktor Pemerintah
Benar memang, apa yang telah diberikan pemerintah kepada guru pada dekade terkahir semakin menunjukkan apresiasinya. Apalagi dengan adanya program sertifikasi guru yang sekarang masih dalam proses penuntasannya. Namun pemerintah juga harus menyadari bahwa tidak hanya dengan meningkatkan gaji atau pemberian bantuan yang besar akan menjadi solusi pendidikan akan bermutu. Banyak tuntutan pemerintah yang sekarang masih dirasakan guru menjadi tuntutan yang mustahil.
Hal ini jika dikaitkan dengan begitu kompleksnya permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia secara umum dan lembaga pendidikan khususnya. Masih segar diingatan kita bagaimana pemerintah menuntut agar setiap guru paling tidak menyelesaikan pendidikan S1 sedangkan ketika menjadi guru, mereka yang lulusan SMA/sederajat bingung bagaimana mereka menempuh S1 tersebut sedangkan gaji sebulan yang didapat dari sekolah hanya bisa dimakan dalam tempo paling lama 15 hari.
Tidak masuk diakal juga adalah kebijakan pemerintah yang menjadikan tolok ukur Ujian Nasional (UN) sebagai penentu kelulusan. Padahal mestinya setiap sekolah mempunyai otonomi sendiri untuk menentukan apakah siswanya lulus atau tidak. Dan dengan kebijakan tersebut pemerintah juga berkontribusi menebarkan aroma kecurangan kepada tiap-tiap sekolah.
Tidak usah disangkal bahwa Ujian Nasional tidak mengalami kebocoran, semua sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap lembaga mempunyai trik sendiri-sendiri untuk memberikan bantuan kepada anak didiknya. Dan ini berlaku pada sekolah negeri sekalipun, apalagi yang swasta. Berita di beberapa daerah mengenai tertangkapnya oknum guru yang melakukan kecurangan hanyalah sampel saja dari sekian sekolah yang melakukan hal yang sama.
Jika demikian, apakah pemerintah mesti menghapus keberadaan Ujian Nasional? Tak relevan juga kalau hal tersebut dilakukan, karena bagaimanapun UN bisa dijadikan parameter dalam menilai seberapa besar kemajuan yang telah dicapai oleh lembaga-lembaga pendidikan. Hemat penulis, UN tetap ada tetapi janganlah dijadikan patokan dalam meluluskan anak didik. Biarlah masyarakat yang akan menilai.

3. Faktor Masyarakat
Tuntutan tinggi yang dibebankan kepada guru secara tidak sadar telah mengantarkan pada pendidikan dengan kualitas rendah. Masyarakat menuntut bahwa guru telah menerima bantuan “cuma-cuma” dari pemerintah. Dengan demikian guru harus bekerja semaksimal mungkin mengantarkan anak didik dalam mencapai cita-citanya.
Kepada pemerintah masyarakat juga menuntut begitu banyak yang pada akhirnya malah menjadikan tuntutan itu tidak proporsional lagi. Bagaimana mungkin pemerintah mengabulkan semua permintaan padahal masyarakat juga bertanggung jawab atas kelangsungan pendidikan. Komite Sekolah dibentuk bukankah salah satu tugasnya adalah untuk membantu pemerintah dalam menyediakan sarana dan prasarana pendidikan.
Masyarakat juga banyak yang tidak menyadari bahwa mereka adalah guru di luar sekolah. Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi anak didik, memberikan tauladan yang baik, memberikan dorongan agar anak didik untuk giat belajar adalah beberapa contoh bahwa masyarakat juga bertanggung jawab meningkatkan kualitas pendidikan.
Dengan demikian, masyarakat tidak mungkin lepas tangan dan ongkang-ongkang kaki menjadi pengamat yang hanya pandai berkomentar tapi tidak pintar menjadi pemain. Kontribusi masyarakat dalam meningkatkan mutu pendidikan sangatlah signifikan.
Dengan menyadari akan hal tersebut, seyogyanlah masyarakat berlomba-lomba berpartisipasi bahu-membahu dengan guru sebagai pendidik & pengajar formal serta bersama pemerintah sebagai fasilitator dan kontributor pendidikan menciptakan pendidikan yang bermutu serta duduk bersama mencari akar permasalahan yang menghambat pendidikan yang rendah dan berusaha mencari solusi yang tepat.

Catatan:
Pernah dimuat di Radar Mojokerto
Tahun 2008

2 komentar:

  1. guru adl pekerjaan yg mulia,,,,,,,guru jg pahalwan tnpa tanda jasa


    nam :tri alfiatin
    kelas:xii ips
    no.abs:39

    BalasHapus
  2. sekecil apapun yang kita berikan pada siswa apabila dilandasi dengan keikhlasnya pasti menjadikan lebih baik......

    BalasHapus