Selamat datang!! Silakan Anda mengutip semua artikel yang ada di kami tapi Anda harus menyertakan saya sebagai penulisnya

Jumat, 21 Mei 2010

AL-KINDI

BAB I
PENDAHULUAN

Perkembangan pemikiran Islam, sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW semakin hari menunjukkan grafik naik. Terutama pada masa-masa Dinasti Abbasiyah sekitar tahun 132H/750 M – 296H/908M. Dimasa ini kita menyaksikan peradaban dan kebudayaan Islam mencapai masa kejayaannya.
Berbagai ragam ilmu pengetahuan bisa ditemukan dan semua mencapai kemajuan yang begitu pesat. Dari ilmu-ilmu mengenai masalah keagamaan hingga yang membahas masalah kemanusiaan. Dari cabang eksakta hingga metafisika, tak ada yang ketinggalan untuk dibahas. Begitu lengkap ummat Islam mempelajarinya tanpa membeda-bedakan mana ilmu agama maupun mana yang ilmu umum.
Begitupun dengan filsafat, ilmu yang semula hanya menjadi kekuasaan oleh orang-orang Kristen Suriah, dan menjadi cibiran oleh Ummat Islam karena filsafat dianggap ilmu yang bertentangan dengan agama. Berkat jasa dari al-Kindi-lah sehingga filsafat menjadi ilmu yang di idolakan dan menjadi ukuran kepiawaian seseorang terhadap ilmu yang dimilikinya.
Begitu banyak pemikiran yang telah dihasilkan oleh al-Kindi dalam pemikiran filsafatnya. Semuanya tersebar diberbagai karyanya yang berjumlah ratusan. Sengaja penulis hanya mengambil beberapa dari beragamnya pemikiran al-Kindi. Disamping karena keterbatasan referensi yang kami miliki juga karena keterbatasan waktu yang kami miliki.

BAB II
FILSUF AL-KINDI DAN PEMIKIRANNYA
A. Riwayat Hidupnya
 Filsuf besar pertama yang berasal dari Arab dan Islam ini dilahirkan pada tahun 180 H bertepatan dengan tahun 796 M di kota Kufah sebuah kota bersejarah di Irak yang dibangun di masa ekspansi pertama Islam ke luar Semenanjung Arabia. Ia juga wafat di Irak tepatnya di Baghdad yang sekarang menjadi ibukota negara pada tahun 254 H atau tahun 873 M.
 Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’kub bin Ishak bin Sabah bin Imran bin Ismail bin Muhammad bin Al-Asy’ats bin Qais al-Kindi. Nama al-Kindi berasal dari salah satu suku Arab yang besar sebelum Islam, yaitu suku Kindah. Ayahnya bernama Ibnu as-Sabah, pernah menjabat sebagai gubernur Kufah pada masa khalifah Abbasiyah yaitu al-Mahdi yang memerintah tahun 775 – 785M & Harun ar-Rasyid memerintah tahun 786 – 809M. Kakeknya Asyi’ats bin Qais, dikenal sebagai sahabat Nabi SAW yang gugur bersama Sa’ad bin Abi Waqqas dalam perang antara kaum Muslimin dengan Persia di Irak.2
 Pendidikan al-Kindi pada waktu kecil tidak banyak diketahui. Ia seorang yang cerdas karena bisa menguasai bahasa Yunani dan bahasa Suryani salah satu bahasa yang dipakai pada kegiatan ilmiah disamping bahasa Arab yang menjadi bahasa sehari-harinya. Dalam penguasaan bahasa ini merupakan nilai lebih bagi al-Kindi karena hal itu adalah kelebihan yang jarang dimiliki oran pada masa itu. Ia hidup dimasa pemerintahan al-Amin (809 – 813M), al-Ma’mun (813 – 833), al-Mu’tashim (833 – 842), al-Wasiq (842 – 847), dan al-Mutawakkil (847 – 861). Kelebihan-kelebihan yang dimiliki al-Kindi menyebabkan dirinya diangkat sebagai guru dan tabib kerajaan.3
 Al-Kindi hidup pada masa kejayaan Abbasiyah dan ilmu pengetahuan merupakan program utama dari para khalifahnya. Terutama pada masa khalifah al-Ma’mun yang meneruskan usaha yang dirintis oleh khalifah sebelumnya yaitu Harun ar-Rasyid dengan didirikannya sebuah lembaga atau akademi tempat bertemunya para ilmuwan yang diberi nama Bayt al-Hikmah (Balai Ilmu Pengetahuan). Khalifah Al-Ma’mun menganut paham Muktazilah salah satu aliran dalam Islam yang dikenal bersifat rasional dan liberal. Diterimanya paham Muktazilah menjadi aliran resmi kerajaan adalah karena peranan penting al-Kindi, yang melancarkan suatu gerakan yang berskala luas dalam menyebarkan hal-hal pokok pikiran Muktazilah dan kecenderungan rasionalitasnya di dalam masyarakat.4

B. Karya-karyanya
 Karya-karya al-Kindi banyak yang berupa makalah-makalah, tetapi jumlahnya amat banyak. Hingga mencapai ratusan buah. Banyak risalah-risalahnya yang sudah tidak bisa dibaca lagi karena hilang. Dalam karyanya itu bisa diketahui bahwa al-Kindi adalah seorang yang berpengetahuan yang luas dan mendalam. Karya-karyanya meliputi bidang-bidang filsafat, logika, ilmu hitung, astronomi, geometri, medis, astrologi, dialektika, psikologi, politik bahkan hingga musik.
 Hasyimsah Nasution menyebutkan berbagai karya al-Kindi dalam bidang filsafat sbb:
a. Kitab al-Kindi ila al-Mu’tashim Billah fi al-Falsafah al-Ula (tentang filsafat pertama);
b. Kitab al-Falsafah al-Dakhilat wa al-Masa’il al-Manthiqiyyah wa al-Muqtashah wa ma Fawqa al-Thabi’iyyah (tentang filsafat yang diperkenalkan dan masalah-masalah logika dan muskil, serta metafisika);
c. Kitab fi Annahu la Tanalu al-Falsafah illa bi’Ilm al-Riyadhiyyah (tentang filsafat tidak dapat dicapai kecuali dengan ilmu pengetahuan dan matematika);
d. Kitab fi Qashd Aristhatalis fi al-Maqulat (tentang maksud-maksud Aristoteles dalam kategori- kategorinya);
e. Kitab fi Ma’iyyah al-‘Ilm wa Aqsamihi (tentang sifat ilmu pengetahuan dan klasifikasinya);
f. Risalah fi Hudud al-Asyya’ wa Rusumiha ( tentang definisi benda-benda dan uraiannya);
g. Risalah fi Annahu Jawahir la Ajsam (tentang substansi-substansi tanpa badan);
h. Kitab fi Ibarah al-Jawami’ al-Fikriyah (tentang ungkapan-ungkapan mengenai ide-ide komprehensif);
i. Risalah al-Hikmiyah fi Asrar al-Ruhaniyah (Sebuah tulisan filosofis tentang rahasia-rahasia spiritual);
j. Risalah fi al-Ibanah an al-‘Illat al Fa’ilat al-Qaribahi al-kawn wa al-Fasad (tentang penjelasan mengenai sebab dekat yang aktif terhadap alam dan kerusakannya).5

C. Pokok-Pokok Pikirannya
 Sebagaimana telah disebutkan dimuka al-Kindi adalah seorang yang dikenal sebagai filsuf muslim pertama karena dialah orang Islam pertama yang mendalami ilmu-ilmu filsafat. Karena ia adalah satu-satunya filsuf Islam yang berasal dari Arab ia disebut Failasuf al-‘Arab (Filsuf Orang Arab).6
1. Filsafat dan Agama
  Sebagai perintis filsafat murni al-Kindi berusaha mengemukakan bahwa filsafat tidaklah bertentangan dengan agama. Karena menurutnya filsafat merupakan pengetahuan yang benar. Al-Kindi memandang filsafat adalah sebagai ilmu pengetahuan yang mulia, yaitu ilmu pengetahuan mengenai sebab dan realitas Ilahi yang pertama dan merupakan sebab dari semua realitas yang lainnya. Ia melukiskan filsafat sebagai ilmu dari segala ilmu dan keraifan dari segala kearifan. Filsafat bertujuan untuk memperkuat kedudukan agama dan merupakan bagian dari kebudayaan Islam. Dengan membawakan argumen-argumen dari dalil al-Qur’an bahwa manusia disuruh untuk mempergunakan akalnya dalam memahami fenomena tiap kejadian baik yang menyangkut manusia itu sendiri maupun fenomena alam yang melingkupi manusia tersebut. Sebagaimana termaktub diantaranya di surat Al-A’raf ayat 185 :



Artinya :
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah mereka akan beriman sesudah Al-Qur’an itu?

  Dengan argumen rasional al-Kindi mengemukakan bahwa dalam mencari kebenaran dalam agama, disamping wahyu akal juga harus dipergunakan. Begitupun dengan filsafat, karena untuk mencari kebenaran dalam filsafat manusia mempergunakan akalnya. Maka tidak mungkin filsafat bertentangan dengan agama. Dengan demikian menurut al-Kindi, orang yang menolak filsafat berarti orang itu menolak kebenaran kendatipun ia mengklaim bahwa ia yang benar. Karena asal kebenaran tidak hanya dari satu tempat maka seseorang harus bisa menerima kebenaran dari berbagai sumber. Sebab “tidak ada yang lebih berharga bagi para pencari kebenaran selain daripada kebenaran itu sendiri” Karena itu sangat tidak wajar meremehkan orang yang memberikan dan mengajarkan kebenaran.
  Al-Kindi berkeyakinan bahwa dalam menta’wil al-Qur’an yang berbahasa Arab itu disamping mempergunakan makna hakiki juga harus dipergunakan makna majazi (figuratif) Tentu saja dalam menta’wil ini hanya bagi mereka yang tergolong mendalam keyakinan agamanya dan ahli pikir (Daw al-Din wa al-ahlul al-Albab) untuk menghindari kerancuan-kerancuan kebenaran yang dihasilkan oleh akal.
  Namun demikian al-Kindi tidak dapat memunkiri perbedaan antara agama dengan filsafat sebagaimana dijelaskan Hasyimsah Nasution yang mengutip pernyataan al-Kindi dalam karyanya Kammiyah kutub aristoteles yang bisa dijelaskan sebagai berikut :
1. Filsafat sebagai humaniora yang dicapai filsuf dengan berpikir, belajar sedangkan agama adalah ilmu ketuhanan yang menenmpati tingkat tertinggi karena diperoleh tanpa melalui proses belajar, dan hanya diterima secara langsung oleh para Rasul dalam bentuk wahyu.
2. Jawaban filsafat menunjukkan ketidak pastian (semu) dan memerlukan berpikir atau perenungan. Sedangkan melalui dalil-dalilnya yang dibawa al-Qur’an memberi jawaban secara pasti. Dan meyakinkan dengan mutlak. Bandingkan dengan surat Yasin ayat 79 – 81.
3. Filsafat mempergunakan metode logika, sedangkan agama mendekatinya dengan keimanan.6

  2. Dzat dan Sifat Tuhan
 Adapun hakikat Allah, al-Kindi menjelaskan bahwa Allah adalah wujud yang baik, yang tidak ada ketiadaan selamanya, yang senantiasa dan akan selalu demikian maujudnya secara abadi. Ia adalah wujud yang Maha Sempurna yang tidak didahului oleh wujud apapun. Wujudnya tidak berakhir dan tidak ada wujud sesuatu tanpa wujudnya. Al-Kindi menafsirkan Tauhid sebagai kesatuan dzat dengan sifat. Atau dengan kata lain sifat identik dengan dzat
 Filsafat al-Kindi mengenai keesaan Tuhan selain didasarkan pada wahyu juga pada tataran filosofis. Menurut al-Kindi, Tuhan itu tidak mempunyai hakikat, baik hakikat secara juz’iyah atau aniyah (sebagian) maupun hakikat secara kulliyah atau mahiyah (keseluruhan). Tuhan tidak merupakan genus atau spesies. Tuhan adalah Pencipta (Khaliq) Tuhan adalah yang benar pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang Benar Tunggal (al-Haqq al-Wahid). Oleh karena itu al-Kindi memandang “Ke esaan” itu suatu sifat Allah yang khas. Jadi Allah adalah Esa dalam bilangan dan Esa dalam dzat. Essesinya tidak mengandung kejamakan apapun dan tidak ada sesuatu pun yang menandingi dan menyerupaiNya. Alasannya karena Allah tidak mempunyai kuantitas dan kualitas, tidak mempunyai jenis dan macam. Jadi ia adalah “Keesaan” semata tidak ada sesuatu selain keesaan.7

3. Pengetahuan manusia menurut al-Kindi
 Menurut A. Mustofa dalam Filsafat Islam Al-Kindi menyebutkan tiga macam pengetahuan manusia yaitu :
a. Pengetahuan inderawi
Yaitu pengetahuan yang diperoleh secara langsung ketika manusia mengamati obyek-obyek material. Tanpa melalui proses imajinasi dalam masa tenggang waktu. Pengetahuan ini tidak tetap dan tidak akan mencapai hakikat realitas dan selalu bersifat parsial (juz’i)
b. Pengetahuan Rasional
Pengetahuan ini diperoleh dengan jalan mempergunakan akal bersifat universal, tidak parsial, dan bersifat immaterial dengan obyeknya yang berupa genus dan spesies. Dengan pengetahuan Rasional, misalnya : orang yang mengamati manusia tidak hanya melihat segi jasmaninya tapi dia akan berkesimpulan ternyata bahwa manusia adalah makhluq yang berfikir.
c. Pengetahuan Isyraqi
Pengetahuan jenis adalah lewat jalan isyraqi (iluminasi) yaitu pengetahuan yang diperoleh dari nur pancaran Ilahi yang puncaknua apa yang diperoleh para Nabi dan Rasul yang membawakan ajaran-ajaran untuk ummat manusia. Pengetahuan ini diperoleh tanpa adanya upaya dan usaha melainkan atas kehendak Allah semata-mata. Karena jiwa para nabi telah disucikan oleh Allah.8

 4. Tentang Jiwa
Jiwa atau roh adalah salah satu pokok pembahasan al-Kindi. Bahkan al-Kindi adalah filsuf pertama yang membahas hakikat roh secara terperinci. Al-Kindi berpendapat bahwa roh mempunyai esensi dan eksistensi yang terpisah dengan tubuh dan tidak tergantung satu sama lainnya.
 Jiwa dibagi al-Kindi menjadi tiga yaitu : al-Quwwah asy-Syahwaniyyah (daya bernafsu), al-Quwwah al-Gadabiyyah (daya pemarah) dan al-Quwwah al-Natiqah (daya berpikir). Daya yang terpenting adalah daya berpikir karena daya itulah yang membedakan manusia dengan makhluq Tuhan yang lain. Dan karena daya itulah sehingga manusia terangkat eksistensinya kederajat yang lebih tinggi.
 Selanjutnya al-Kindi menerangkan bahwa roh itu tidak tersusun dan tidak akan memperoleh kesenangan selama dan keempurnaan kenikmatan selama roh itu masih di dalam badan. Hanya setelah roh itu berpisah dengan badan maka manusia akan mencapai pengetahuan yang sempurna. Roh bersifat kekal, tidak hancur dengan hancurnya badan. Substansi roh berasal dari substansi Tuhan. Karena itu dengan roh manusia bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya, yaitu pengetahuan akal. Didalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan dan dapat melihat Tuhan. Di sinilah letak kesenangan abadi yang bisa dicapai roh.

5. Dalil Baharunya Alam
 Penggunaan konsep bahwa alam ini baharu sebagai dalil adanya Allah telah umum dikenal dalam kalagan mutakallim sebelum al-Kindi. Perbedaan hanya terletak pada isi kandungan dalil tersebut. Tidak pada dasar pijakan. Sehingga al-Kindi dalam hal ini jelas berbeda dengan para pendahulunya itu. Ia mempertanyakan apakah mungkin sesuatu dalam kenyataan ini menjadi sebab bagi dirinya atau tidak? Al-Kindi menjawab bahwa itu pasti tidak mungkin, karena segala sesuatu dalam hal ini mesti dengan sendirinya ada sebab ada yang mendahuluinya. Dengan demikian alam ini ada sebab bagi adanya. Hal ini berarti alam ada permulaanya, baik dari segi gerak maupun dari segi zaman. Daris segi gerak karena gerak pada wataknya mengikuti wujud jisim, karena tidak mungkin ada gerak jika tidak ada jisim yang bergerak. Dengan demikian gerak juga baharu dan ada titik awalnya. Edang dari segi zaman, karena zaman adalah ukuran gerak dan juga baharu seperti gerak. Jadi jisim, gerak dan zaman tidak dapat saling mendahului dalam wujud, dan semuanya ada secara bersamaan. Ini berarti alam ini baharu dan karena itu ada penciptanya. Tidak mungkin ada sesuatu jisim yang abadi (senantiasa). Jadi jisim dengan sendirinya diciptakan. Dan yang diciptakan itu adalah ciptaan pencipta. Sebab pencipta dan yang diciptakan termasuk perangkaian. Maka semuanya itu dengan sendirinya ada penciptanya dari tiada.

BAB III
ANALISIS PEMIKIRAN AL-KINDI

A. Sebab-sebab Munculnya Filsafat dalam Islam
Dari berbagai uraian yang singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa al-Kindi-lah orang Islam yang pertama menyumbangkan pemikirannya dalam ilmu filsafat. Usahanya dapat dilihat dari berbagai karyanya yang selalu mengedepankan pencarian kebenaran dengan akal disamping dengan landasan agama yang dianutnya. Dialah orang yang pertama berusaha mempertemukan agama dengan filsafat. Dipadukannya dengan berbagai argumen rasional (dalil aqli) maupun argumen dari sumber agama yaitu al Qur’an (dalil naqli).
Al-Kindi berbuat demikian tak lepas dari berkembangnya pemikiran waktu itu yang tidak bisa tidak menuntut ulama’ Islam bertindak untuk menangkis serangan kaum kafir cendekiawan dalam dunia pemikiran yang semakin hari semakin gencar dari berbagai sudut ilmu. Tak ketinggalan pula dari ilmu filsafat mereka menyerang agama Islam dengan memajukan argumen-argumen berdasarkan filsafat yang mereka peroleh dari Yunani. Dari pihak Umat Islam timbul satu golongan yang melihat bahwa serangan itu tidak dapat ditangkis kecuali dengan memakai argumen-argumen filosofis pula. Untuk itu mereka pelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani. Kedudukan akal yang tinggi dalam pemikiran Yunani mereka jumpai sejalan dengan kedudukan akal yang tinggi dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Al-Kindilah orang yang merintis jalan untuk itu. Dengan segenap kemampuannya dia kerahkan segala macam argumen untuk menggugah kaum Muslimin agar mempelajari filsafat. Karena filsafat tidak bertentangan dengan agama. Dengan demikian jasa besar yang telah disumbangkan al-Kindi pantas mendapat penghargaan yang tinggi dalam dunia Islam terlepas dari keterbatasannya sebagai manusia.
B. Agama dan Filsafat
 Al-Kindi dengan segala alasan yang dikemukakan telah membuktikan bahwa filsafat tidak bertentangan dengan agama. Justru dengan adanya filsafat manusia dalam mencari kebenaran akan mencapai klimaks karena memang filsafat adalah ilmu dari segala ilmu dan sumber kearifan dari segala kearifan.
 Agama, dalam hal ini Islam sangat menjunjung tinggi keberadaan akal. Dalam firman Allah banyak menyebutkan derajat tinggi yang akan dicapai manusia dengan mempergunakan akalnya dengan berbagai sebutan misalnya :Ahl Fikr, Ulul Albab atau banyak dalam akhir ayat yang berbunyi :”Jika kamu berfikir”, “Tanda-tanda bagi orang yang berakal” dll. Allah dengan tegas menyuruh agar manusia memperhatikan alam ini untuk meneliti dan mengamati fenomenanya. Salah satu firmannya termaktub dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 164 :
Artinya :
 “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan dibumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”.

 Begitupu dengan Nabi Muhammad. Beliau sangat mengagungkan dengan penggunaan akal. Tidak hanya bertumpu padanya, karena tidak semua ajaran agama ini telah disampaikan. Masih banyak yang memerlukan pemikiran-pemikiran manusia untuk berkecimpung di dalamnya. Dengan kata lain disuruh untuk berIjtihad. Dalam salah satu riwayat Nabi bertanya kepada Mu’adz bin Jabal yang akan dikirim sebagai Qadhi di Yaman. Apa yang dipergunakan bila dia menemui suatu masalah. Maka jawaban terakhir yang diajukan adalah dengan menggunakan akal fikirannya. Nabi pun memujinya.
 Filsafat adalah alat yang dipergunakan untuk mencari kebenaran. Agama juga adalah muara kebenaran. Sama-sama mempergunakan akal. Maka tidaklah mungkin filsafat bertentangan dengan agama.

C. Al-Kindi tentang Ke-Esaan Tuhan
 Menurut penulis setelah memperhatikan berbagai pendapat yang kemukakan al-Kindi, tidaklah bertentangan dengan apa yang selama ini kami yakini sebagai bagian dari ummat Islam. Sebagai seorang muslim kita sangat hafal dan memahami karena sering membaca setiap saat dimana maksud kami adalah kesamaan pendapat al-Kindi, tentang keesaan Tuhan.
 Dalam surat Al-Ikhlas Allah dengan jelas memberikan pengetahuan bahwasannya Allah itu satu, tidak beranak dan tidak diperanakkan dan tidak ada sekutunya. Oleh karena itu kami memandang tidak ada suatu puncak pendapat manusia kecuali hanya memuliakan Tuhan dan sebagai hamba tak ada yang bisa dilakukan tanpa kehendaknya. Karena apapun yang terjadi di muka bumi ini adalah semata-mata karena kehendakNya.




BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
 Al-Kindi sebagai perintis masuknya filsafat dalam Islam, adalah seorang ilmuwan yang sangat berani. Dimana pada waktu itu mayoritas ulama’ mengesampingkan filsafat sebagai ilmu. Al-Kindi dengan langkahnya yang berani itu merupakan pendobrak kejumudan pemikiran. Beliaulah sang revolusioner pemikiran yang manfaatnya masih terasa hingga sekarang.
 Apa yang dilakukan oleh al-Kindi merupakan inspirasi bagi kita untuk merubah kondisi pemikiran yang ada sekarang. Sebagai mahasiswa dengan kondisi demikian yang mengalami stagnasi dan kejumudan pemikiran sejak dinyatakan bahwa pintu ijtihad telah ditutup. Sudah saatnya gaung bangkitnya Dunia Islam yang telah didengungkan pada awal abad 20 ini kita perkeras lagi dengan menggalakkan pemikiran-pemikiran baru untuk menyesuaikan dengan kondisi jaman sekarang yang lebih banyak tantangan dan hambatan daripada pada jaman Nabi dahulu.




DAFTAR PUSTAKA


Bakhtiar, Amsal. 1999. Filsafat Agama. Ciputat: Logos.

Departemen Agama RI.1990. Al-Qur’an dan Terjemahnya.Surabaya : Mahkota

Dewan Redaksi EI, 2002, Ensiklopedi Islam (3), Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve

Mustofa, A.1997. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Nasution, Harun, 1986. Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press

Nasution, Hasyimsah. 1999. Filsafat Islam. Jakarat: gaya Media Pratama.

Rachman, Budhy Munawar (Ed). 1995. Kontekstualisasi Dotrin Islam Dalam
Sejarah. Jakarta : Yayasan Paramadina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar