Selamat datang!! Silakan Anda mengutip semua artikel yang ada di kami tapi Anda harus menyertakan saya sebagai penulisnya

Sabtu, 08 Oktober 2011

Sungkeman



Hari ke-3 Idul Fitri 1432 H.
Hari ini, aku harus berdiam diri di rumah. Mandi telah aku lakukan pada waktu shalat Shubuh tadi. Sekarang tinggal merapikan rambut. Kumis dan jenggot yang mulai memanjang aku cukur. Jajan dan minumanpun sudah aku siapkan di hamparan karpet warna biru.
Rasanya tak sabar menunggu kedatangan tamu-tamu yang aku nanti-nantikan. Ya, hari ini adalah hari dimana murid-muridku di Tsanawiyah dan Aliyah Al-Musthofa khususnya kelas IX dan kelas XII mulai mendatangi rumah-rumah gurunya.
Menurutku ini sangat bagus sebab selain akan melebur dosa dan kesalahan, kegiatan ini juga bisa dimanfaatkan para guru untuk memberi wejangan dan mendoakan agar para murid lancar menghadapi Ujian Nasional kelak. Itulah yang akan kulakukan nanti. Dan hari ini merupakan hari pertama mereka berkunjung.
Sudah pukul 08.00 aku kembali mematut diri di depan cermin. Istriku hanya senyum-senyum saja melihat tingkahku.
“Pae-pae mbok ya nggak berlebihan po’o. Wong kedatangan murid saja seperti menyambut raja,” katanya sambil berlalu.
Belum sempat aku membantah, dia sudah tidak kelihatan batang hidungnya. Biarlah, untuk sementara aku tidak membutuhkannya. Sebab semuanya sudah disiapkannya.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 09.00. aku masih setia menunggu. Harus. Untuk membunuh waktu kuambil majalah sekolah, Kamus. Hem, aku selalu kagum dengan anak-anak. Untuk sekolah swasta dan mempunyai majalah sekolah seperti ini adalah suatu prestasi yang membanggakan. Apalagi isinya tak kalah dengan majalah remaja lain. Hebat!
“Pak-Pak bangun, sudah pukul 2 tuh, nggak salat Dhuhur tah?”
Aku gelagapan terbangun. Rupanya aku tertidur. Bergegas aku menuju kamar mandi mengambil wudlu. Setelah salat aku baru ingat aku tadi kan menunggu muridku datang. Berarti hari ini mereka tak datang. Mungkin masih ke rumah guru lain. Hiburku.
***
Hari ke-4. Hari Kemenangan Umat Islam
Kembali aku merias diri di depan cermin. Tak ada lagi ejekan istriku. Sebab dia pagi-pagi tadi minta ke rumah mertua untuk meneruskan halal bi halal ke tetangga. Terpaksa aku tidak ikut, sebab jika aku juga ke sana anak-anak yang ke rumahku pasti tak bisa menemuiku. Dan ini akan mengecewakan mereka.
Empat toples sudah penuh dengan jajan bervariasi. Kaleng kerupuk sudah penuh dengan sambal pedasnya dimangkok besar. Minuman sudah tersedia di kulkas dan siap disuguhkan. Biskuit masih utuh sebab tak ada satu tamupun yang kerumahku. Sebetulnya ada juga tamu hanya saja mereka tetangga-tetangga yang kalau anjangsana tak ada yang mau duduk atau masuk rumah.
Sudah pukul 10.00 masih juga belum ada satu muridku yang datang. Padahal menurut perhitunganku jika kemarin mereka ke rumah guru lain, pasti hari ini mereka akan sampai di rumahku.
Daripada suntuk kunyalakan TV siapa tahu ada berita yang bisa buat perbincangan dengan tetangga.
“Assalamu’alaikum..” nah, itu dia suara muridku. Setengah berlari aku ruang tamu. Huh, betapa kecewanya ternyata itu suara anak tetangga.
“Ada apa, nak?” tanyaku berbasa-basi.
“Ini, Pak Sodron ada titipan dari Ayah.” Katanya sambil mengangsurkan kresek yang dibawanya. Dan langsung lari berlalu dari hadapanku. Dengan perasaan kecewa aku kembali ke hadapan televisi. Ada acara artis yang berhalal bi halal dengan teman-temannya. Huh, sekali lagi aku mengumpat. acara itu menghadirkan perasaan nyeri di dadaku.
Sampai pukul 13.00 tak ada juga muridku yang datang. Kututup pintu dan jendela langsung ku salat Dhuhur. Kekecewaan kembali kutelan hari ini.
***
Hari Lebaran ke-5.
Keyakinanku, hari ini pasti anak-anak datang. Mana mungkin mereka tak berani datang. Kegiatan ini kan sudah diwajibkan. Wajahku sumringah di depan cermin.
“Pak, aku mau ke rumah Bu RT, katanya besok ada halal bi halal antar warga,” istriku berpamitan sambil menenteng tas. Entah apa isinya. Belum sempat menjawab dia sudah tak kelihatan.
Biarlah aku sendirian toh semua sudah tersedia. Sambil duduk di kursi kubaca koran yang aku beli tadi pagi. Tak terasa tiga jam berlalu, masih juga tidak ada satupun batang hidung murid-muridku yang datang.
Ada apa ini, aku gelisah, padahal tahun kemarin hari kedua saja mereka sudah pada datang semua. Padahal waktu berkunjung itu hari ketiga. Tapi ini bahkan sampai hari ke-5 tak ada satupun yang datang.
Detik berkumpul menjadi menit. Menit merangkai jam. Jam berdentang menunjuk angka 1. berarti penantianku harus kuakhiri.
***
Hari ke-6, 2 hari menjelang masuk sekolah.
Lenyap sudah harapanku. Bayanganku seandainya banyak murid yang datang bangga akan menerpaku, sebab tetangga akan terbelalak akan tamu-tamu yang datang silih berganti. Atau kalau tidak terbelalak minimal kagum padaku dengan tamu yang berjubel.
Ah, daripada suntuk aku duduk-duduk saja di teras rumah. Kupandangi sejenak jajan-jajan yang masih utuh dan menanti dihabiskan. Kududuk terpekur, merenung. Apa yang salah. Apa alamat yang tertulis di blanko tanda tangan kemarin salah mengetiknya sehingga anak-anak tidak bisa sampai ke rumahku.
“Lihat itu, Pak Sodron. Baru tahu rasa dia,” sayup-sayup kudengar suara dari dalam ruang tamu. Aku mengintip ke dalam.
“Memangnya kenapa?” Hah, benarkah apa yang kulihat. Ternyata suara itu dari toples keciput. Kuucek-ucek mataku.
“Sebab tahun ini nggak ada murid satupun yang datang,” toples kacang menjawab. Berarti toples kacang itulah yang tadi membuka pembicaraan.
“Iya, ya, padahal tahun kemarin dengan sombongnya dia ngomong ke istrinya bahwa dialah guru favorit di sekolah,” toples permen ikutan nimbrung.
“Padahal setahuku, ada lho guru yang lebih kreatif dari dia,” toples kacang bicara lagi.
“Aku tahu, Pak Paijo kan maksud kamu.” toples keciput berteriak.
“Benar, dia kan pernah datang ke rumah ini. Dari omongannya saja aku sudah tahu kalau dia itu guru pintar,” kata toples permen menimpali.
“Selain itu Pak Sodron termasuk guru sombong lho,” kata sendok sambal ikutan ngobrol.
“Kamu koq tahu?” kata toples kacang dan permen hampir bersamaan.
“Tentu saja, aku kan pernah dibawanya ke sekolah dan dia makan sarapannya di depan kelas. Gaya bicaranya itu lho, huh sombong banget.”
“Contohnya apa?” tanya kaleng biskuit yang rupanya penasaran juga.
“Dia tuh suka mengejek murid, dianggapnya mereka semua bodoh. Ada yang bertanya sedikit langsung dimarahi. Wuih pokoknya serem deh omongannya. Apalagi ketika Pak Sodron meninggalkan kelas, banyak gerundelan para murid yang jengkel pada Pak sodron.”
Aku memperhatikan terus omongan-omongan itu. Mereka tak tahu bahwa aku mengerti bahasa mereka.
“Apalagi nih...” toples kacang mau ngomong, tiba-tiba...
Prang... kaleng kerupuk terguling tertabrak kucing yang lari diusir istriku dari dapur.
Tergeragap aku bangun, wah, ternyata aku tadi tertidur dan mimpi.
“Bue..bue.... ke sini kamu!” aku berteriak memanggil istriku.
“Ada apa tho pak teriak-teriak segala?”
“Jawab dengan jujur, aku mau tanya!”
“Tanya apa tho Pak kayaknya koq penting banget.”
“Ketika kamu masih jadi muridku dulu, lebih banyak mana antara menjengkelkan dan menyenangkan?”
“Koq pakai nanya itu segala, nggak ah, nanti Bapak marah.”
“Jawab saja, nggak usah takut!”
“Benar, nih?”
“Sudahlah jawab saja!”
“Kalau mau jujur ce lebih banyak menjengkelkannya.”
“Kenapa?”
“Sebab Bapak tuh nggak pernah akur sama murid, sukanya marah melulu meski kesalahan kecil.”
“Terus.”
“Suka mengejek kekurangan murid, memuji-muji diri sendiri. Apalagi sama murid laki-laki sukanya memukul. Menerangkannya selalu mblarah nggak sesuai dengan pelajaran..”
Mataku menyipit, hidungku mendengus, dahiku berkerut.
“Kenapa diam?”
“Bapak mulai marah, gitu.”
“Aku nggak marah pada pean koq Bue.”
“Terus pada siapa?”
“Pada diriku sendiri. Ya sudah. Bue kembali masak sana.”
Hem, rupanya inilah penyebab satu-satunya yang masuk akal sehingga para muridku nggak ada yang datang. Yang ada dalam mimpiku nggak ada yang salah. Yang disampaikan istrikupun benar semua.
Berarti dengan semua kekuranganku yang ada ini rasanya tak pantas kalau aku menunggu kedatangan muridku. Justru mestinya aku yang datang ke rumah mereka satu per satu.
Ah, kayaknya itu nggak mungkin. Berarti jika masuk sekolah nanti aku harus lebih dahulu meminta maaf pada muridku. Rasanya ini tindakan yang lebih terhormat daripada aku selalu minta terhormat.
Rasanya, idul fitri kali ini benar-benar membawa pencerahan bagiku. Terima kasih Tuhan.

*)Staf Pengajar
di MTs. MA. Al-Musthofa
Canggu Jetis
Dimuat di Radar Mojokerto
Minggu, 04 September 2011
Sama sekali tidak di edit. Saya puas dengan pemuatannya

7 komentar:

  1. emtin sholikhah.9-A1 Desember 2011 pukul 22.20

    Isi ceritanya bagus,saya sangat sukaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa because memberi motifasi pada kita untuk saling meminta maaf.Dan ide ceritanya sangat menarik dan membuat rasa penasaran untuk membacanya

    BalasHapus
  2. critany sngat mnarik n' bnyak sswa_sswi bpak yg mnyukainya....
    krena kta sbgai mnusia tdak bleh mngjek kkurangan se2orang,,,, sblum mnydri kkurangn dri kta sndri....

    BalasHapus
  3. bguzzzzzzzzzzzzzzzzz...... bnget crta.e pak
    sngat mnyntuh hti pak....
    i like it.......

    BalasHapus
  4. rizka maulida nur 9c18 Desember 2011 pukul 04.14

    cerpennya baguz, menarik mudah banget di mengerti... pkoknya pinter n'perfeck banget yang buat cerpen ini,,,

    BalasHapus
  5. mardiyanti nur fandayani1 Desember 2012 pukul 02.59

    cerpennya sangat bagus pak . . . cerita yang diambil sangat mengesankan . . rasanya selalu ingin mengulang untuk membacanya lagi . .

    BalasHapus
  6. . waw cerpennya baguzzzz bnget pak ceritanya sangat mengesankan sekali .,, dari situ saya bisa belajar jadi orang yang tidak sombong .,.,,

    ainun.f.f( IXB )

    BalasHapus
  7. cerpennya sangat baguuus, menarik dan mengesankan . tolong buat lagi yang lebih menarik

    Nama: Mastianah
    Kelas: IXc
    No Absen: 15

    BalasHapus