Selamat datang!! Silakan Anda mengutip semua artikel yang ada di kami tapi Anda harus menyertakan saya sebagai penulisnya

Jumat, 21 Mei 2010

Ibu....

13 Juni 2003
Ibu aku sekarang lagi ingin merajuk. Hatiku telah di injak dengan semena-mena oleh orang yang merasa besar.
Dia begitu egoisnya mencaci aku seakan diri ini sudah tidak punya harga diri lagi. Bagaikan diri adalah seonggok sampah yang pantas diludahi.
Kepalaku tadi telah disentuhnya dengan begitu kasarnya. Walau dia menahan juga tindakannya itu. Tapi bagiku itu adalah suatu penyalahgunaan kekuasaan yang dimilikinya sekarang. Padahal aku tahu ibu, engkau tidak pernah menyentuhku dengan kemarahan. Sentuhanmu adalah sentuhan kasih sayang yang membuat diri ini nyaman dan tentram.
Meskipun begitu seringnya aku mengecewakanmu, tapi sungguh besar hatimu menerima segala penyakit hati yang kuberikan kepadamu. Begitu mudahnya kamu memaafkanku.
Dan tadi ibu…….
Dia dengan arogannya menunjuk hidungku dengan telunjuknya yang dirasa suci tak bernajis. Mengungkit-ungkit kesalahan yang aku rasa adalah hal biasa yang tak perlu dibesar-besarkan.
Jika kau Ibu, membimbingku dengan telaten walau kadang marah. Tapi aku yakin tak pernah engkau memasukkan kemarahanmu itu kedalam hatimu, tapi tadi ibu., dia yang mestinya sebagai pemimpin harus bisa mengayomi dan membimbingku ke arah yang lebih baik, telah mendeskriditkan aku kearah yang tak kubayangkan selama ini.
Maka, wahai ibu do’akanlah aku.
Untuk diberi Tuhan rezeki dari jalan yang selama ini aku tempati.
Aku yakin dengan do’amu, aku akan mendapatkan tempat yang lebih baik. Karena aku tahu begitu banyak jalan untuk mendapatkan nafkah dengan suasana yang menggembirakan.

Sekarang ibu…
Aku juga ingin mohon maaf.
Ternyata bagaimanapun pandanganmu mengenai kehidupan ini lebih luas dibandingkan aku yang baru kemarin sore engkau lahirkan.
Berbulan-bulan ini hatiku juga telah disobek-sobek oleh seorang anak wanita yang dengan setulus hati aku cintai.
Bukannya dia menerima tapi malah diri ini dihina tanpa alasan. Kalau memang dia lebih segalanya dari aku, pantaslah diri ini direndahkan, tapi nyatanya ibu, dia adalah wanita yang tidak diambil apa-apanya selain kecantikannya yang selalu dia banggakan. Begitu angkuhnya ia ibu mengatai aku didepan semua orang bahwa aku ini adalah pantas menjadi alas kakinya. Anehnya aku begitu ikhlas menerima perlakuannya tanpa suatu perlawanan yang berarti. Hanya karena terombang-ambingya hati ini dengan perasaan cinta.
Tidakkah kau sakit hati ibu mendengar semua ini. Pastilah engkau membelaku. Bukan karena aku ini darah daginngmu. Tapi memang secara rasional lebih pantas wanita itu yang diaduk-aduk kehormatannya. Tapi tidak usahlah itu engkau lakukan, karena hampir warga dunia yang jelek maupun baik dengan melihat tingkah polanya selama ini telah mencibirnya begitu rupa.
Maka seandainya aku masih saja ingin meraihnya, tentu kehinaan yang akan aku tanggung. Untuk itu ibu do’akanlah aku sekali lagi agar aku bisa mendapatkan penggantinya yang lebih segalanya dari dia. Ikhlaslah berdo’a ibu jangan hanya dibibir saja. Karena yang selama ini aku pandang yang engkau inginkan hanya wanita yang berpunya walau nggak cantik asal pintar engkau mau.
Bagaimanapun ibu aku ingin kecantikan juga untuk pelipur lara di kala duka, penyejuk mata dikala hati ini merana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar