“Assalamu’alaikum,” suara
cempreng mengganggu keasyikanku membaca koran, pagi itu.
“Wa’alaikumsalam, ada apa, Mas?”
tanyaku penasaran.
“Benar inirumah Pak Sodron?”
“Benar, ada yang bisa saya
bantu?”
“Tidak, Pak, hanya mau
mengantarkan undangan dari Mas Akhya.” Dijulurkannya undangan yang dibawanya,
aku terima dan langsung aku baca, siapa gerangan Akhya ini. Rasanya-rasanya aku
pernah kenal.
“Terima ka...” hem, rupanya
pemuda tadi telah meninggalkanku. Mugkin dia pamitan tapi aku tidak
menghiraukannya.
Kembali aku menikmati koran
halaman cerpen, kesukaanku. Undangan segera kulempar ke tempat biasanya.
Biarlah dia bercengkrama dengan teman-temannya yang beberapa hari lalu telah
kuterima. Sama! Dari para kurir undangan yang aku tahu mereka mengantarkan
undangan itu tidak mungkin gratisan.
Zaman sekarang, mana ada orang
mau dengan tulus ikhlas mengantarkan undangan hajatan dengan gratis. Rasa
ikhlas memang sudah sulit ditemukan, segalanya dihitung dengan rupiah.
Apalagi hajatan yang diadakan.
Sudah dianggap perdagangan dengan menghitung untung rugi. Hah, gara-gara
undangan pagi itu, aku jadi tidak bisa konsentrasi membaca koran yang ada
ditanganku. Aku lipat dengan kasar dan kubuang di kursi tempat dudukku.
“Ada apa, Mas. Kelihatannya koq
kesal banget?” tanya istriku. Rupanya dia tidak sengaja menangkap kekesalanku
dipagi yang semestinya kurasakan cerah, sebab hari ini adalah hari libur.
“Itu, tuh lihat di rak koran.
Belum lagi sepuluh undangan yang aku terima kemarin dilaksanakan, eh sudah ada
undangan lagi, seingatku itu muridku yang baru lulus empat tahun yang lalu.”
Jawabku dengan kesal.
“Sama murid koq nggak hafal!”
istriku menimpali.
“Kamu tahu sendiri, kan, aku ini
tipe orang yang gampang lupa. Apalagi si Akhya ini dulu di sekolah biasa-biasa
saja jadi susah sekali aku menghafalnya.”
“Gimana mau hafal, wong yang
dihafal cuma aku ini, muridmu yang paling pintar dan paling cantik, he he he.”
“Wah, kalau itu, sih jangan
dibahas, Dik. Memang kamu itu muridku dulu yang paling pintar, lincah, gesit,
dan cantik lagi. Makanya jangan salahkan kalau aku memilih kamu.”
“Nah, itu sebabnya pean nggak
bisa hafal murid-murid lain, wong di hatimu cuma ada aku, tho.” Kataku istriku
genit sambil mengerlingkan matanya.
“Siapa bilang, sekarang ada 2
cewek lagi lho yang paling aku ingat selain kamu!” kataku menggoda istriku yang
perayu ini.
“HAH, siapa dia!” istriku
bersungut-sungut.
“Eits, lupa ya, kita kan udah
punya 2 putri yang manis-manis dan lucu. Itu yang mengisi hatiku selain kamu!”
“O...h,” istriku melongo dengan
huruf –O-nya. Kelihatan dia tersipu malu. Dan ngeloyor pergi.
“Hei...jangan pergi, pembicaraan
kita mengenai undangan belum selesai!” teriakku pada istriku yang malu-malu
karena kecemburuannya tadi.
“Males aku, mau nggak mau kita ya
tetap harus bowoh tho?” teriak istriku yang sudah sampai dapur. Aku
hanya bisa termangu sendirian.
***
“Ayo... Dik, sudah setengah jam
masa’ nggak selesai juga. Pean mau aku karatan di teras?” teriakku pada
istri yang berdandan mematut diri di depan kaca. Huh, kalau urusan dandan
istriku paling jago lamanya. Padahal menurutku tanpa meriaspun dia sudah
kelihatan cantik, menurutku, sih.
“Ayo bu...epetang, apek Ani
unggu ibu gak lesai-lesai,” teriak putri kecilku dengan suara cadelnya. Maksudnya
dia capek menunggu ibunya yang nggak selesai-selesai dandannya, ibunya disuruh
cepetan.
“Tara... ibu sudah selesai. Ayo
berangkat!” istriku muncul dengan dandannya yang pas. Hem, dalam hal ini aku
akui istriku memang jago dalam merias wajahnya sendiri. Kecantikannya semakin
kelihatan. Tapi jangan GR dulu, sebab aku ini termasuk pelit dalam memuji.
“Huh, wong ya tetap kelihatan
begitu saja, selesainya lama banget!” kataku menggoda dia. Dapat diduga
cemberut menghias wajahnya.
“Mas, selalu begitu, nggak
ngurus, ayo kita berangkat.”
Jadilah malam itu aku ke
kondangan Akhya. Di perjalanan tak henti-hetinya dua putri kecilku ngomong
masalah bowoh. Mereka paling suka kalau diajak kondangan. Bahkan mereka
sering menangis jika mendengar ada suara sound system dari jauh tapi mereka
nggak kuajak bowoh. Mereka tak tahu bahwa bowoh bukanlah kegiatan
gratis. Aha...aku jadi ingat amplop tadi sudah aku bawa apa belum, ya?
“Dik, aku belum bawa amplop, pean
sudah siapkan?” tanyaku setengah berteriak pada istriku yang di belakang.
“Beres, Mas. Sudah aku bawa dua
amplop untuk pean dan untuk aku,” jawab istriku. Ah.. lega rasanya,
sebab aku paling sebal kalau bepergian ada yang terlupa dan harus kembali
pulang. Kegiatan seperti itu paling menjengkelkan.
“Pean isi berapa?”
“Biasa Mas, pean tiga
puluh, aku duapuluh.”
“Sip, memang harus dipaskan
segitu.”
“Iya, Mas aku tahu, kita ini
penghasilan masih kecil, kalau dibuat sombong-sombongan bisa bangkrut kita.”
“Koq, bangkrut, memangnya kita
ini dagang?” kataku pura-pura nggak tahu.
“Halah, kayak nggak tahu
saja. Bulan-bulan begini kan banyak undangan, lha kalau kita nggak mengontrol
keuangan. Hutang bisa menumpuk lagi, Mas.”
“Bagus, istriku memang pintar. Ya
sudah tak konsen setir sepeda.”
Hanya sekitar lima belas menit
aku sampai di tempat acara. Sambutan tuan rumah tak seperti yang kubayangkan.
Aku hanya disalami dan sama sekali tidak dipersilakan duduk. Benar Akhya ini
memang muridku dulu. Tapi sepertinya dia tak begitu mengenalku. Aku jadi
bertanya-tanya kenapa dia mengundangku?
Hampir sepuluh menit nasi tidak
datang, dua putriku merengek minta pulang karena nggak makan-makan.
“Yah, ayo ulang, eyung Ana
yapar, koq nggak atang-atang ce asinya?” kali ini Ana yang lebih cerewet
bertanya-tanya kenapa nasinya nggak datang-datang padahal perutnya sudah lapar.
“Sabar, ya sayank, itu ada Bapak
yang ke sini membawa nasi,” memang benar nasi itu akhirnya datang. Anakku
langsung melahap nasi itu sampai tandas, dalam hati senang juga melihat mereka
suka makan. Sayangnya itu adalah jatahku dan istriku, anakku tidak ditawari
sehingga aku cuma menerima dua piring. Mau minta empat piring, sungkan
dikiranya kami ini keluarga krungsapan alias nggrangsang.
Sambil menahan lapar, karena aku
tadi di rumah memang sengaja tidak makan, kulihat dari jauh Akhya ngomong akrab
dengan teman-temannya yang baru datang. Sedangkan aku sampai detik ini tidak
juga diliriknya. Entah dianggap apa aku ini, sedangkan tamu undangan tidak
banyak-banyak amat, sehingga mustahil jika dia tidak melihat tempat dudukku.
“Mas, sebetulnya yang nggak ingat
itu pean apa si Akhya ini, koq dari tadi pean nggak dihiraukan?”
tanya istriku, rupanya dia gelisahnya sama dengan aku.
“Nggak usah dibahas, Dik. Kita
pulang saja, tuh, anak kita sudah selesai makan.”
Kami berempat bergegas pulang. Amplop
kusiapkan untuk dimasukkan meja khusus. Akhya aku pamiti, dia menyalamiku
sambil duduk dang langsung ngomong lagi dengan teman-temannya, tak ada ucapan
terima kasih. Rupanya aku harus menahan kekesalanku lebih dalam ketika sampai
di meja terima tamu, aku cuma dikasih 2 botol minuman karbonasi, tak ada yang
lain, apa yang aku bawa ini sama persis dengan tamu undangan lainnya.
Hal inipun tak luput dari
perhatian istriku.
“Mas, koq cuma dikasih begini ya,
kemarin kita bowoh ke murid pean yang lain kita kan dapat
bingkisan khusus, bahkan kita juga ditonjok dengan seember makanan dan
kue-kue?”
“Pean ini, Dik dari tadi
koq cerewet ya, sudah, nggak usah dibahas ayo segera pulang.” Istriku langsung
terdiam. Rupanya kekesalanku malam ini akhirnya tertumpah pada istriku, dia
jadi sasarannya. Kasihan istriku, tak bersalah kenapa aku marahi.
***
Begitulah, undangan demi undangan
dari berbagai kalangan silih berganti datang memenuhi rak koran di ruang
tamuku. Mulai dari teman guru, teman sekolah atau kuliah, tetangga, dan tak
lupa dari beberapa murid yang akrab ataupun yang tak begitu aku kenal.
Selain murid aku dengan antusias
datang karena itu aku anggap sebagai ajang silaturrahim yang kebanyakan memang
terputus karena memang aku tidak berhubungan dengan mereka.
Namun dari murid, entah mengapa
sampai sekarang aku kurang bisa menerima. Sebetulnya aku tak boleh berperasaan
begini, anggap saja itu sebagai bentuk sedekah. Namun tetap saja niat ikhlas
seringkali terbentur dengan sambutan dari beberapa murid yang seakan-akan
menganggap kedatanganku sebagai tamu biasa, alias tidak istimewa.
Salahku juga yang ingin
diistimewakan. Tapi bagaimanapun aku ini manusia biasa yang tak bisa menahan
perasaan ingin dihargai.
Apalagi kalau sudah bicara isi
kantong, sampai bolong kantongku hanya untuk bowoh.
“Kita anggap saja, Mas, bowoh
kita sebagai tabungan kita, toh suatu saat kita nanti punya hajatan juga, kan?”
Kata istriku suatu ketika.
Langsung saja aku
bersungut-sungut, “Maaf, Dik, jangan sekali-kali berperasaan demikian. Aku tak
pernah mengharapkan balasan, pean tahu sendiri, kan. Aku paling nggak
suka punya hajat, sebab aku nggak inginacara kita malah menyusahkan orang
lain.”
“Oh, ya, aku lupa, Mas. Pean
punya pendirian begitu, makanya dulu undangan nikah kita cuma seratus, padahal
teman pean kan bisa sampai ratusan waktu itu.”
“Itulah, dik, seratus itu saja
dulu rasanya gimana... gitu. Seperti tukang tagih saja!”
Hari berjalan seperti biasa,
undangan masih juga mengalir tanpa bisa dicegah. Memang sih, ada satu dua yang
aku tidak datang selain kadang karena nggak punya uang ada yang tak sudi aku
datang karena yang mengundang benar-benar aku tidak kenal.
Di sekolah, seringkali tonjokan
datang dari wali murid yang punya hajat. Kalau yang begini wajib hukumnya guru
datang ke rumahnya, sebab tonjokan dianggap sebagai undangan wajib, haram
hukumnya kalau tak bowoh.
Jika demikian, seringkali aku
hutang sama teman atau TU sebab kantong memang sudah benar-benar bolong. Bertahun-tahun
berjalan demikian hingga ini sudah dianggap wajar atau lumrah.
Dan akhirnya kabar gembira itu
datang dari kebijakan kepala sekolah salah satu tempatku mengajar. Dan itu
disampaikan pada pertemuan seluruh wali murid saat penerimaan rapor.
“Ibu-Ibu dan Bapak-bapak yang
saya hormati, ini yang terakhir kali saya sampaikan setelah saya uraian
kebijakan sekolah tadi. Mulai saat ini setiap wali murid yang punya hajat
dilarang memberi tonjokan ke sekolahan. Sebab saya tahu tujuan Bapak-Ibu
mengirim itu selain sebagai syukuran, secara tidak langsung juga mengundang
kami ini selaku guru putra-putri Bapak-Ibu untuk datang ke rumah jenengan.
Datang ke rumah jenengan apalagi kalau tidak bowoh?” Waduh kasar
juga kata-kata Kepala Sekolahku ini.
“Maaf, Pak!” salah satu wali
murid mengacungkan jari.
“Ya, silakan,” Bapak Kepsek
memberi waktu.
“Kami tak pernah berpikiran
seperti itu, kami ikhlas mengirim tonjokan. Bapak-Ibu guru tidak datang
ke rumah, kami tidak akan mempersoalkan.” Nah, kan, pasti ada yang protes
demikian.
“Ya, itu mungkin sebagian perasaan
Bapak-Ibu wali murid. Tapi Anda tahu, kan. Adat bowoh sudah mendarah
daging. Kami tidak enak jika ada tonjokan tapi kami tidak bowoh. Kalau boleh jujur,
honor kami sebagai guru jauh di bawah gaji karyawan pabrik. Makanya saya sangat
keberatan jika guru-guru saya harus selalu bowoh jika ada tonjokan dari saudara-saudara.”
“Maka,
mulai saat ini saya ambil kebijakan, siapapun wali murid yang punya hajat
dilarang memberi kiriman jajan atau makanan ke sekolahan. Seandainya tetap saja
ada yang mengirim kami ucapkan terima kasih. Dan yang pasti guru-guru tidak
akan bowoh. Mohon maaf jika kebijakan ini menyinggung
perasaan bapak-Ibu semua.” Bapak Kasek menyudahi pertemuan.
Memang
sejak saat itu tonjokan banyak berkurang. Rupanya benar dugaan Bapak
Kepala sekolah. Dan yang pasti meski dapat tonjokan kami para guru tak pernah bowoh kepada si pengirim. Bagaimana mau bowoh kami para guru memang nggak punya anggaran khusus
untuk itu.
Setidaknya kebijakan Bapak Kepala Sekolah ini yang memang
menyinggung perasaan banyak orang mengurangi pengeluaranku untuk menghadiri
undangan. Dan aku perlu acungi jempol kepada beliau. Dan yang lebih penting
lagi kebijakan tersebut mengurangi beban dosaku yang selalu ingin diistimewakan
oleh murid yang mengundangku. Suatu perasaan yang sampai sekarang tak bisa aku
tepis apalagi aku buang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar