Pagi hari tadi tepatnya 26 Oktober 2012 aku berangkat bersama istri menuju masjid Al-Musthofa Canggu. Ada yang lain di hati sebab sholat Id kali ini aku membawa istri dan anak kembar kesayangan. Menurut sunnah jika mau berangkat sholat idul adha tidak boleh makan dan minum. Sayangnya sunnah itu aku langgra sebab tenggorokanku terlalu kering. Akhirnya segelas air putih aku teguk untuk membasahi kerongkongan.
Sepulang sholat langsung aku sarapan. Hanya saja aku koq begitu pelupa ya? Jika tanggal 10 Dzulhijjah sholat Id terus setelahnya yang disebut hari tasyrik itu itu sampai tanggal berapa.
Maka mulailah aktifitasku untuk mengingatnya. Seingatku hari Tasyrik itu 3 har atau tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah tapi tetap saja aku nggak yakin. Aku bingung dengan tanggal ini sebab hari Senin dan Kamis alhamdulillah dua bulan ini sudah mulai rutin aku laksanakan. Sehingga kalau hari Senin itu tanggal 13 belas berarti aku tidak boleh puasa dulu.
Daripada aku penasaran maka kucari-cari referensi b uku yang membahasnya hasilnya ternyata adalah:
Hari
tasyrik adalah hari dimana diharamkan untuk berpuasa, hari tasyrik
bertepatan dengan tanggal 11,12,13 Dhzuhijjah. Pada hari-hari itu jamaah
haji berada di Mina untuk melontar jamrah dan mabit. Pada hari-hari ini
umat Islam masih diperbolehkan melakukan penyembelihan hewan Qurban.
Dalam suatu riwayat disebutkan :
عَنْ أَبِي مُرَّةَ مَوْلَى أُمِّ
هَانِئٍ أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَلَى أَبِيهِ
عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ ، فَقَرَّبَ إِلَيْهِمَا طَعَامًا ، فَقَالَ : كُلْ .
قَالَ : إِنِّي صَائِمٌ . قَالَ عَمْرٌو : كُلْ ، فَهَذِهِ الأَيَّامُ
الَّتِي كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَأْمُرُنَا بِفِطْرِهَا ، وَيَنْهَى عَنْ صِيَامِهَا . قَالَ مَالِكٌ :
وَهِيَ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ . صححه الألباني في صحيح أبي داود .
Dari Abi Murrah Maula (bekas budak) Umi Hani, Bahwa ia bersama
Abdullah bin Amr datang kepada ayahnya Amru bin Ash, Maka disuguhkanlah
kepada mereka berdua makanan. Ia (Amr bin Ash), “Makanlah”. Ia (Abdullah
bin Amr) menjawab, “Aku sedang puasa”. Maka Amr bin Ash berkata,
“Makanlah, karena hari ini adalah hari dimana Rasulullah shallallohu
‘alaihi wasallam memerintahkan kita untuk berbuka (makan) dan melarang
dari berpuasa pada hari ini”. Malik berkata, “(yang dimaksud) Itulah
hari-hari tasyriq”
(Dishohihkan Oleh Syeikh al-Albany dalam Shohih Sunnan Abi Daud)
اليوم الحادي عشر من ذي الحجة والثاني عشر والثالث عشر ، تسمى أيام التشريق
Hari 11, 12 dan 13 Dzulhijjah adalah Hari Tasyrik
Pada Hari ini pula Gema Takbiran masih dapat dilakukan, sebagaimana
hadist dari Rasulullah SAW yang menegaskan dasar perintah untuk
bertakbir di hari tasyrik.
Dari Jabir ra bahwa Rasulullah SAW bertakbir pada shalat fajar hari
Arafah hingga shalat Ashar di hari terakhir tasyrik (13 Zulhijjah) yaitu
setelah selesai shalat maktubah . (HR. Ad-Daruquthuny)
Dalam riwayat lainnya juga disebutkan :
Adalah Rasulullah SAW bila shalat shubuh pada hari Arafah mengahdap
kepada para shahabat dan berkata,”Tetaplah di tempat kalian dan ucapkan
(Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaaha illallah, Wallahu Akbar, Allahu
Akbar Wa lillahilhamd). Maka beliau bertakbir sejak dari pagi hari
Arafah hingga shalat Ashar di akhir hari tasyrik setiap ba'da shalat).
>
Alhmadulillah terjawab sudah rasa penasaranku. Berarti hari Senin depan aku tidak puasa.
Sedangkan daging qurban yang aku dapat, tak tahulah sampai jam segini (12.30) masih belum ada kiriman. Nggak papalah toh kalau aku makan daging pasti gusiku bengkak. Jadi nggak perlu terlalu diharapkan.
Yang mengganjal di ati kedua adalah bagaimana ya hukum orang yang memakan daging kurbannya sendiri.
Wah ternyata mencari di buku terlalu susah, maka terpaksa deh aku cari di internet, ternyata aku mendapat jawaban sebagaimana berikut : (aku copas dari http://harianbangsa.com)
Menurut mazhab Syafi’ii, Maliki, dan Hanafi, orang yang beribadah kurban
boleh hukumnya untuk memakan daging kurbannya sendiri, dan boleh pula
bagi keluarganya yang menjadi tanggungjawabnya untuk ikut serta
memakannya. Bahkan sunnah untuk memakan daging kurbannya sendiri.
Sedangkan menurut mazhab Hanbali adalah wajib memakannya.
Syeikh
Muhyiddin bin Syarf an-Nawawi dalam Syarh al-Muhadzab, Jilid I hal 306,
mengutip dua pendapat Imam Syafi’i mengenai berapa bagian yang
diperbolehkan bagi orang yang berkurban dan berapa bagian untuk
disedekahkan.
Imam Syafi’i, pertama-tama menyatakan,
diperbolehkan mengambil setengah bagiannya untuk yang berkurban dan
keluarganya. Ini disarikan dari ayat Al-Qur’an:
Maka makanlah
sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan
orang-orang yang sengsara dan fakir. (QS Al-Hajj 22: 28)
Pendapat
itu diperbaharui oleh Imam Syafi’i (dalam qaul jadid-nya): Orang yang
berkurban dan keluarganya hanya boleh mengambil sepertiga dari daging
hewan kurbannya. Ini berdasarkan firman Alllah SWT:
Maka
makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang
ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. (QS
Al-Hajj 22: 36).
Dalam Syarh al-Muhadzab dijelaskan, maksudh dari
“al-qani’” dalam ayat diatas adalah warga sekitar rumah orang yang
berkurban, sementara “al-mu’tar” adalah orang yang mengharap atau
meminta daging kurban itu. Dengan demikian diperoleh tiga bagian dalam
ayat di atas, yakni sepertiga untuk orang yang berkurban dan
keluarganya, sementara dua pertiganya lagi untuk dibagikan kepada orang
lain.
Daging kurban lebih dianjurkan untuk diberikan kepada warga
muslim yang fakir dan miskin dengan niat shadaqah. Jikalau daging itu
diberikan kepada muslim yang dapat dikategorikan kaya (cukup dan
terpenuhi ekonominya) maka daging itu diberikan dengan niat memberikan
hadiah, karena sedianya shadaqah atau sedekah itu bukan untuk orang yang
sudah kaya.
Ditambahkan, menurut madzhab Syafi’i, tidak boleh
memberikan daging kurban kepada selain muslim, sebagaimana zakat fitrah,
karena ia tidak digolongkan termasuk orang yang berhak menerimanya.
Demikian pula menurut matzhab Malikiyyah.
Daging Dibagikan Mentah atau Dimasak?
Tidak
boleh memberikan kepada fakir dan miskin daging kurban setelah dimasak
atau dalam bentuk jamuan makan bersama secara keseluruhan karena hak
mereka adalah hak kepemilikan dan bukan hak untuk makan, sehingga mereka
akan dapat memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan, misalnya mereka
butuh untuk menjualnya.
Akan tetapi, boleh juga memberikannya
sebagiannya dalam bentuk daging mentah dan sebagian lainnya setelah
dimasak atau dalam bentuk jamuan makan bersama. Hal ini berbeda dengan
pemberian kepada orang kaya (cukup ekonominya), yakni boleh memberikan
kepadanya daging kurban setelah dimasak atau dalam bentuk jamuan makan
bersama.
Demikian penjelasan Syeikh Muhyiddin bin Syarf an-Nawawi
dalam kitab Roudlotut Tholibin, Jilid III hal 222, dan Ibnu Hajar
al-Haitami dalam al-Minhajul Qowim, I hal 631.
Menurut pendapat saya , setiap manusia pasti punya sifat pelupa walaupun pelupanya sedikit atau banyak,jadi menurut saya itu tidak apa-apa kalau diatas ditulis bapak kelupaan minum segelas air putih sebelum sholat idul adha.
BalasHapus"RIFATUL HASANAH XI-IPA"
"menurut pendapat saya,setiap orang banyak sedikit pasti punya sifat pelupa"
BalasHapusSHINTYA AINI ZURO