Selamat datang!! Silakan Anda mengutip semua artikel yang ada di kami tapi Anda harus menyertakan saya sebagai penulisnya

Sabtu, 08 Oktober 2011



Ah... akhirnya sampai juga.
Setelah terengah-engah menyusuri pematang sawah, menaiki tebing terjal. Kini aku sampai di tempatmu Jo. Maaf jika kedatanganku ini mendadak. Mungkin kamu terkejut Jo kenapa disiang hari yang seterik ini aku menjengukmu.
Jangan repot-repot Jo tetaplah berbaring. Nggak pa-pa kamu nggak usah sungkan denganku meski aku gurumu engkau muridku. Justru aku akan menemanimu berbaring di sisimu biar kita bisa saling menikmati birunya langit yang cerah itu.
Lihat Jo, kepak sayap burung pipit di atas pohon kamboja itu, kupu-kupu dahan pohon jambu monyet. Gemericik air di bawah bukit ini, gemerisik daun terkena desau angin sepoi. Inilah Jo yang membuatku ingin datang ketempatmu hanya saja kesibukan mengajar menahanku untuk melakukannya.
Bicara tentang mengajar aku jadi teringat kamu Jo ketika masih jadi muridku. Memang Jo sengaja aku datang ketika kerinduanku padamu menusuk-nusuk ulu hati. Apa? Kamu juga rindu aku? Benarkah itu Jo? Ah, kenapa aku meragukanmu ya. Kita kan dulu sahabat ya Jo? Meski kau muridku tapi rasanya kita tiada batas. Besarnya rasa penasaran yang kamu miliki membuatmu tiap hari ke rumah dinasku untuk menanyakan berbagai hal.
Aku masih ingat Jo, ketika kamu bertanya tentang Fakta & Opini hal  yang semestinya kamu pelajari di MTs. sedangkan kamu masih kelas 6.
“Assalamu’alaikum, Pak Sodron,” sopan sikapmu memaksaku tersenyum.
“Wa’alaikum salam, oh...kamu, Jo, ada apa?”
“Memangnya ada apa Jo, sampai segitunya kamu kepingin ketemu Bapak.”
“Anu pak, tadi saya lho kebetulan disuruh emak membeli lombok ke toko Mak Inah. Saya lihat lomboknya dibungkus koran. Nah saya buka bungkus itu sedangkan lomboknya saya masukkan saku. Di koran itu ada rubrik Opini.”
“Lalu masalahnya apa dengan koran itu Jo?”
“Isinya agak membingungkan sebab membahas tentang naiknya BBM,” tukasmu dengan mimik yang lucu khas bocah.
“Ya tentu saja Jo, itu karangan kan untuk konsumsi dewasa,”
“Apa sih Opini itu Pak?” tanyamu penasaran.
Maka mulailah aku menerangkan kepadamu tentang opini, fakta, artikel dan sebagainya. Kau mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Sepertinya koq sulit banget ya Pak, apa ada pak karangan yang bisa saya lakukan karena mudahnya?”
“Ada Jo, kamu buat saja cerita pendek, novel, atau puisi,” saranku.
“Bagaimana caranya Pak?” tanyamu
Kuterangkan secara detail bagaimana caranya Jo membuat puisi, cerpen dan novel. Kau dengarkan dengan seksama sampai adzan maghrib terdengar dari masjid Al-Musthofa.
***
Dan begitulah Jo, sejak pertemuan kita di sore yang cerah itu kamu mulai menuangkan pikiranmu melalui puisi dan cerpen. Kau selalu berkonsultasi denganku tentang karya-karyamu. Tentu saja aku sangat senang menanggapimu. Tahukah Jo aku selalu kagum dengan hasil karyamu itu sebab semuanya masih orisinil dan tanpa sepengetahuanmu kuikutkan salah satu puisimu yang berjudul “IBU” pada lomba penulisan puisi di Kabupaten. Kau menang, juara satu! Kamu dan aku dipanggil ke kantor kabupaten. Kamu sebagai pemenangnya dan aku sebagai guru pembimbing.
Duh, Jo karena dirimulah keesokan harinya wajahku dan wajahmu nampang di koran Radar Mojokerto. Terima kasih Jo.
***
Jika itu dibandingkan dengan tempatku sekarang mengajar Jo, hati ini bertanya kenapa tak kutemui lagi Paijo-Paijo lagi sepertimu. Yang ada cuma menjengkelkan dan menyusahkan. Lima tahun yang lalu aku meninggalkan Desa Reco, tempat tinggalmu, sebuah desa pelosok di kaki pegunungan untuk ditugaskan di Desa Canggu pinggiran kota.
Alam desa yang ramah, wajah-wajah bocah yang polos tak kutemui lagi. Duh Jo, murid-murid pinggiran ini sukanya meremehkan guru bukan hanya aku Jo, semua guru diremehkan, seakan-akan mereka pintar bukan karena guru melainkan usaha mereka sendiri dan tempat les mereka. Di luar kelas guru dijadikan bahan ejekan. Jika ketemu di jalan menyapa pakai kata “hallo” atau klakson motor mereka yang menyapa.
Apalagi dalam prestasi Jo, yang mereka tonjolkan hanyalah nyanyi dan SMS. Hanya itu! Beda denganmu Jo walaupun tinggal dan sekolah di desa tapi keunggulan prestasimu selalu membuatku berdecak kagum dan mengingatnya sampai sekarang.
***
Hei...kenapa kamu tersipu malu Jo, memang kamulah yang memberikan kebanggaan kepadaku. Bukan itu saja Jo, sikapmu yang tetap tunduk patuh kepadaku semakin membuatku bangga. Karena dari ke-empatpuluh temanmu di kelas hanya kamulah yang bisa menunjukkan prestasi.
Apalagi sebulan setelah kita nampang di koran, novel perdanamu kamu tunjukkan kepadaku. Kamu memohon kepadaku untuk membacanya. Betapa dada ini hampir meledak Jo, ketika kubaca kata demi kata, kalimat per kalimat dari paragraf ke paragraf berikutnya mata ini tak mau berhenti membacanya. Hingga Shubuh tiba novelmu baru kuselesaikan padahal aku membacanya mulai dari pukul sembilan malam.
Air mata ini tak berhenti menitik ketika novelmu rampung kubaca. Ada dua alasan  kenapa aku menangis. Pertama ending novelmu begitu menyentuh, kedua aku terharu mempunyai murid seperti engkau.
***
Begitulah, setelah satu bulan penuh aku mondar-mandir Surabaya – Reco untuk meyakinkan beberapa penerbitan untuk mencetak novelmu tersebut akhirnya novel Pelangi Cinta di Mata Ibu diterbitkan. Tanpa launching layaknya penulis terkenal hanya diiklankan disebuah harian oplah kecil itupun diletakkan dipojok kanan bawah, kecil sekali.
Tapi hasilnya di luar dugaan Jo, kecil iklannya tapi besar pengaruhnya. Dalam tempo 1 bulan novelmu yang hanya dicetak 1000 eksemplar habis dipasaran. Ditambahlah 5000 eksemplar itupun habis dalam tiga minggu saja. Hingga 3 bulan sejak diterbitkan novelmu terjual 150 ribu eksemplar. Belum lagi bulan-bulan berikutnya.
Namamu menjadi perbincangan, televisipun banyak yang datang mewawancaraimu. Yang membuatku lebih terharu di setiap kesempatan wawancara engkau selalu menyebut namaku sebagai guru yang paling banyak berjasa bagimu. Ah, Jo kerendahan hatimu membuatku malu.
***
Naaah..gitu dong Jo, silakan kamu tersenyum dari tadi kamu koq turut bersedih mendengar keluh kesahku. Kamu nggak usah ikut memikirkan. Kamu sudah tenang disini tidak usah ikut susah dengan karut marutnya dunia sekarang. Cukuplah aku yang merasakannya. Dan cukuplah prestasimu yang kamu tunjukkan menjadi penghibur bagi diriku.
Oh, ya lupa Jo, untung kamu mengingatkanku. Memang prestasimu bukan hanya novel itu. Di tengah-tengah kesibukanmu melayani undangan wawancara. Kamu juga masih sempat  mengarang 3 buah novelet dalam tempo 3 bulan. Kamu memenuhi janjimu kepada semua penggemarmu untuk menerbitkan karya baru lagi. Kau berikan kepadaku untuk membacanya.
Sebulan kemudian kau mengajakku untuk melaunching novelet tersebut di sekolah kita. Meski di sekolah desa pelosok tetapi tak kurang dari 10 kamera merekam kita. Namun sayang ketika kau datang wajahmu terlihat pucat pasi, bibirmu kering, dan badanmu gemetar.
“Kamu sakit ya Jo?” tanyaku khawatir.
“Nggak koq Pak, cuma pusing sedikit,” jawabmu dengan senyum memaksa kelihatan sekali menahan sakit yang amat sangat.
Sepuluh menit kemudian aku bicara di depan umum.
“Saudara para hadirin tibalah saatnya setelah 3 bulan kita menanti karya terbaru dari anakku Paijo, kini akan muncul kembali karya agung yang akan lebih menguras air mata kita semua daripada novel perdananya dulu. Baiklah bia tidak mengulur waktu saya persilakan anakku Paijo untuk naik ke podium.”
Kau berdiri. Tapi duh Jo kau membuatku terkejut karena jalanmu sempoyongan. Akhirnya aku memapahmu naik ke podium. Setelah mengucapkan salam dan pujian kau berkata:
“Para hadirin sekalian...,” lama sekali kau terdiam hadirin mulai gelisah karena kau menunduk lama sekali. Dan...
 “Izinkanlah saya mempersembahkan karya saya yang saya karang ditiap tengah malam setelah tahajud. Karya ini adalah suara hati saya atas semua jasa orang tua, guru-guru saya terutama Pak Sodron dan semua penggemar saya.” bicaramu berhenti  badanmu semakin gemetar. Aku semakin khawatir dan cemas.
“Semoga penghargaan yang kecil kepada mereka ini merupakan pahala saya nanti diakhirat. Uang yang akan didapat dari hasil penjualan novelet ini nanti akan saya sumbangkan untuk sekolah tercinta ini agar menjadi tempat pendidikan yang bagus dan layak.” Tepuk tangan membahana tanpa mereka ketahui tangan kananmu memegang dadamu. Mungkin aku saja yang tak turut tepuk tangan karena mencemaskan keadaanmu.  
Was...was..wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Terbata-bata kau mengucapkan dan sungguh tak terduga sama sekali kau ambruk terjengkang ke belakang tanpa ada yang menolong. Semua orang terkejut, banyak yang berteriak histeris terlambat kau sudah terlentang di atas tanah. Segera kau dilarikan ke rumah sakit.
Begitulah Jo, esoknya koran nasional menurunkan berita tentangmu dengan judul, “Launching Novelet, Novelis Kecil Ambruk”. Aku membaca berita itu dengan tetesan air mata tiada henti. Tak ku sangka Jo ternyata selama ini kau mengidap penyakit akut. Kau menahannya karena tidak mau merepotkan orang tuamu. Dihari itu, dihari launching buku terbarumu kau tak kuat lagi hingga kau ambruk. Kaupun dirawat di rumah sakit. Aku jadi membandingkan dirimu dengan muridku sekarang ini. Jangankan liver, kena duri saja sudah merengek-rengek minta izin ke kantor agar diperbolehkan pulang sekolah lebih awal. Dasar!
Ah... sudahlah Jo, kenapa aku selalu membandingkan kamu dengan mereka. Mungkin aku sudah terlalu bosan dengan mereka Jo. Makanya aku ke tempatmu ini. Tempat tidurmu yang paling tenang. Tak usah berterima kasih atas kunjunganku. Justru aku yang harus mengucapkan itu karena kamulah sehingga penatku selama lima tahun ini agak berkurang. Baiklah Jo, aku pulang dulu. Wassalamu’alaikum.
Matahari sudah mulai memerah di ufuk barat. Burung beterbangan kembali kesarangnya. Angin dingin mulai menusuk tubuh. Aku berdiri membersihkan punggungku yang kotor karena debu. Kuusap tulisan Paijo di nisan itu. Menitik air mataku. Kutinggalkan dengan langkah gontai komplek pemakaman tempat Paijo bersemayam.


*)Pecinta Buku, Staf Pengajar
di MTs. MA. Al-Musthofa
Canggu Jetis
Dimuat di Radar Mojokerto,
Minggu, 02 Oktober 2011
Inilah pemuatan yang paling menjengkelkan karena di samping pengeditan yang lumayan parah
gambar ilustrasi juga tidak dimuat.

3 komentar:

  1. Mawardha Arbarahmi4 Desember 2011 pukul 23.59

    Salah satu rubrik yang saya sukai di majalah KAMUS adalah GURU OH GURU. Saya begitu suka dengan rubrik tersebut karena ketika saya selesai membaca buah karya Pak Haris, decak kagumpun tak henti saya rasakan. Saya selalu mendapat motivasi besar dari karya yang Pak Haris buat. Dari cerita diatas, saya merasa saya menjadi siswa yang kurang hormat kepada guru. Untuk itu saya harus terus semangat belajar dan selalu mentaati perintah guru. Semoga saya menjadi orang yang sukses di kemudian hari. Amiin..
    Terima kasih Pak Haris, yang akan selalu jadi motivator saya :)

    Mawardha Arbarahmi 9a

    BalasHapus
  2. komentar saya: saat saya sudah membaca cerpen bapak ceritanya dari cerpen tersebut bagus dan menarik salah satunya bisa menambah wawasan bagi kita semua dan bisa untuk belajar cara membuat cerpen yang bagus atau baik dan satu lagi fotonya lucu banget terima kasih atas ilmuny yang bapak berikan ke kami semua
    nama:kiki novitasari
    kelas: IX a
    no: 20

    BalasHapus
  3. Mawardha Arbarahmi8 Desember 2011 pukul 20.25

    Salah satu rubrik yang saya sukai di majalah KAMUS adalah GURU OH GURU. Saya begitu suka dengan rubrik tersebut karena ketika saya selesai membaca buah karya Pak Haris, decak kagumpun tak henti saya rasakan. Saya selalu mendapat motivasi besar dari karya yang Pak Haris buat. Dari cerita diatas, saya merasa saya menjadi siswa yang kurang hormat kepada guru. Untuk itu saya harus terus semangat belajar dan selalu mentaati perintah guru. Semoga saya menjadi orang yang sukses di kemudian hari. Amiin..
    Terima kasih Pak Haris, yang akan selalu jadi motivator saya :)

    nama: Mawardha Arbarahmi
    kelas: IXA

    BalasHapus